Jakarta, 09 April 2015 - Dalam Rangka Persiapan Focus Group Discussion (FGD) terkait International Child Abduction, Direktorat Hukum Internasional dan Otoritas Pusat yang dipimpin oleh Direktur HI & OP Cahyo Rahadian Muzhar mengadakan rapat untuk membahas isu child abduction dengan para stakeholder terkait yaitu Kementerian Sosial, Bareskrim Polri, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia & Badan Hukum Indonesia, Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komnas Anak serta pejabat/pegawai di lingkungan Direktorat HI & OP yang bertempat di Ruang Rapat Ali Said Ditjen AHU Lt. 17 Gd. Sentra Mulia.
Dalam arahannya Cahyo Rahadian Muzha menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Direktorat Hukum Internasional & Otoritas Pusat dalam salah satu tugas & fungsinya ialah untuk mengidentifikasi instrumen internasional yang dapat digunakan untuk kepentingan nasional;
2. Maraknya people to people contact antar negara, banyak yang menghasilkan perkawinan campur. Hal ini berpotensi menjadi masalah jika dikemudian hari terjadi perceraian dan terdapat perselisihan terkait hak asuh anak. Untuk menjaga kepentingan masyarakat Indonesia jika dikemudian hari terdapat perselisihan hak asuh anak, maka Indonesia dipandang perlu untuk mengaksesi Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980;
3. Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980 memiliki 3 (tiga) tujuan, yaitu:
- Mengembalikan anak ke tempat tinggal asalnya (habitual residence);
- Membantu orang tua dalam mendapatkan akses atas akak-anak mereka yang tinggal di luar negeri;
- Memberikan kerangka hukum yang seragam di Indonesia dalam hal penanganan child abduction untuk meminimalisir dampak emosional dan potensi cedera dari anak dengan mengembalikan anak tersebut secara cepat ke habitual residence.
4. Banyak laporan yang masuk ke Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum, dimana para Ibu melaporkan anaknya dibawa oleh suaminya yang warga negara asing ke negara asalnya dan ibu tersebut kesulitan untuk menghubungi atau mendapatkan anaknya kembali. Sampai saat ini, di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur untuk menangani kasus-kasus tersebut dan menjadikan kasusnya tidak dapat ditangani dengan baik. Yang menjadi kendala utama dalam penanganan kasus-kasus tersebut adalah biaya, dimana pelapor diharuskan mengeluarkan biaya untuk perjalanan ke negara asal suaminya tempat anak tersebut dibawa, biaya tempat tinggal sang ibu pada saat mencari anaknya di negara asal suaminya dan biaya untuk membayar Pengacara yang akan membantu dalam penanganan kasus;
5. Dengan diaksesi atau diratifikasinya Konvensi Child Abdcution, akan memudahkan penanganan kasus-kasus terkait international child abduction karena dalam konteks Konvensi International Child Abduction, cenderung tidak ada biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua dalam mendapatkan anaknya. Orang tua yang anaknya diambil oleh pasangan/mantan pasangannya, tinggal melaporkan kasusnya ke Competent Authority di negaranya. Competent Authority di negara pelapor akan menghubungi Competent Authority negara terlapor. Selanjutnya, Competent Authority di negara terlapor akan melakukan koordinasi kepada para penegak hukum di negaranya untuk mencari anak yang dilaporkan diculik. Setelah anak tersebut ditemukan, maka akan dilakukan mediasi untuk mengembalikan anak tersebut ke tempat tinggal asalnya (habitual residence). Namun hal ini hanya dapat dilaksanakan jika negara pelapor dan terlapor sudah menjadi negara anggota dari Hague Conference on Private International Law (HCCH);
6. Mengingat banyaknya kasus yang dilaporkan terkait international child abduction, maka dirasa perlu bagi Instansi Pemerintah untuk menyatukan pandangan dalam penangangan kasus international child abduction dan melakukan inisiasi untuk kemungkinan mengaksesi/meratifikasi Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Koordinasi yang baik antar Instansi terkait amat dibutuhkan dalam menentukan berhasil/tidaknya aksesi/ratifikasi maupun penerapannya dilapangan;
7. Untuk negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, memerlukan kerjasama lebih lanjut dalam hal penanganan kasus terkait child abduction. Meskipun sudah sama-sama menjadi anggota HCCH dan mengaksesi atau meratifikasi Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980, tidak langsung dapat melakukan kerja sama dalam penanganan kasus child abduction, sehingga memerlukan kerja sama lebih lanjut;
8. Ke depannya, Direktorat Hukum Internasional & Otoritas Pusat akan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) pada tanggal 07 Mei 2015 di Jakarta, bekerja sama dengan Perwakilan HCCH di wilayah Asia Pasifik, Departmen of State Amerika Serikat (divisi children issue) dan instansi terkait;
Adapun tanggapan dan masukan dari peserta rapat adalah sebagai berikut:
1. Pada bulan Desember 2014, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan regulasi terkait adopsi anak, dimana jika ada warga negara Amerika Serikat yang ingin mengadopsi anak yang bukan warga negara Amerika, maka mekanisme adopsi yang dilakukan harus mengikuti mekanisme dari Hague Convention;
2. Pada bulan Februari 2015, Pemerintah Amerika Serikat telah mengirimkan agen yang khusus menangani adopsi anak ke Indonesia (Kementerian Sosial) untuk membicarakan kebijakan-kebijakan antara Amerika Serikat dengan Indonesia terkait adospsi. Hasil pertemuan tersebut adalah disepakatinya untuk membuat MOU antara agen tersebut dengan Kementerian Sosial terkait adopsi. Di Indonesia, lembaga yang khusus menangani adopsi adalah Sayap Ibu;
3. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia harus disinergikan dengan aturan-aturan yang ada dalam Konvensi. Misalnya: dalam hukum di Indonesia, ada peraturan yang mengharuskan agama dari anak yang akan diadopsi harus sama dengan agama orang tua yang akan mengadopsi dimana hal ini tidak ada dalam aturan Konvensi dan perlu disinergikan;
4. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memiliki mandat untuk menerima aduan, dan melakukan mediasi sengketa anak. Sampai dengan bulan April 2015, kasus yang banyak diterima oleh KPAI adalah sengketa perebutan hak asuh anak terkait kawin campur yaitu sebanyak 20 (duapuluh) kasus. Negara yang kasusnya banyak ditangani oleh KPAI terkait kawin campur adalah Tiongkok, Malaysia, dan Singapura. Data terkait IPCA, siap diberikan oleh KPAI jika sewaktu-waktu dibutuhkan;
5. Banyak ditemui di lapangan, anak hasil kawin campur menjadi telantar akibat dari perebutan hak asuh anak. Hak anak menjadi lebih sulit dipenuhi (terlantar) jika ternyata orang tuanya tidak memiliki ikatan nikah yang sah. Akibat dari penelantaran adalah, anak menjadi terganggu secara psikis dan fungsi sosial. Kondisi anak dapat dikatakan terganggu secara psikis dan fungsi sosial, dengan cara tes. Apabila seorang anak yang diduga diculik, dalam hasil tesnya tidak terdapat indikasi gangguan psikis dan fungsi sosial, maka hal ini dapat menjadi alasan untuk tidak melanjutkan kasus;
6. Salah satu yang menjadi pertanyaan apabila Indonesia mengaksesi/meratifikasi Konvensi terkait international child abduction adalah apakah Konvensi ini dapat menangani kasus sengketa hak asuh anak hasil kawin campur yang dilakukan di bawah tangan? Hal ini yang perlu ditanyakan pada perwakilan HCCH yang akan menjadi pembicara di FGD tanggal 07 Mei 2015;
7. Banyak Keputusan Pengadilan yang belum dapat dieksekusi terkait hak asuh anak di Indonesia dimana, hak asuh anak jatuh kepada Ibu, tapi posisi anak ada di Bapak dan sebaliknya. Dengan diratifikasi atau diaksesinya Konvensi terkait international child abduction, diharapkan dapat menangani permasalahan eksekusi hak asuh anak;
8. Kasus yang banyak diterima oleh Unit Perlindungan Perempuan & Anak (Polri) adalah anak hasil kawin campur yang dibawa oleh salah satu orang tua yang merupakan Warga Negara Asing (WNA), dimana status perkawinan orang tua tersebut sudah berpisah atau bercerai. Salah satu rujukan PPA dalam memeriksa kasus adalah akta kelahiran. Jika dalam akta kelahiran anak hasil kawin campur terdapat nama Ibu dan Bapak, maka di saat anak tersebut dibawa oleh Bapak yang berkewarganegaraan asing, hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai penculikan. Hal ini disebabkan, Bapak memiliki kewajiban dan hak terhadap anak tersebut. Pada kasus-kasus seperti ini, Pasal yang dapat dikenakan adalah terkait perlakuan salah dan penelantaran, dimana Bapak yang membawa anak tersebut telah menghilangkan kesempatan untuk sang anak mendapat kasih sayang dan asuhan oleh Ibunya. Namun jika nama sang Bapak tidak ada dalam akta, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai penculikan;
9. Pada rapat selanjutnya, perlu juga diundang unsur dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Pemprov DKI, Kejaksaan Agung (Datun), Direktorat Jenderal Multilateral (Kemlu), Sekretariat Negara.
Demikian Rapat Koordinasi Pembahasan Persiapan (FGD) terkait International Child Abduction. (noe)