
Jakarta – Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) mendorong DPR RI untuk segera meratifikasi Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU), Widodo, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, Senin (25/8/2025).
Widodo menegaskan, perjanjian yang ditandatangani pada 31 Maret 2023 di Bali oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly serta Menteri Kehakiman Rusia, Konstantin Chuychenko, merupakan langkah strategis memperkuat kerja sama hukum kedua negara.
“Perjanjian ini akan menjadi fondasi bagi penegakan hukum antar negara dan menjadi salah satu tonggak penting hubungan diplomatik Indonesia–Rusia yang telah terjalin selama 75 tahun,” ujar Widodo.
Latar belakang perjanjian ini, menurut Widodo, antara lain karena maraknya tindak pidana lintas negara seperti kejahatan siber, narkotika, korupsi, dan pencucian uang. Dengan mobilitas manusia yang semakin tinggi, pelaku kejahatan kerap melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari proses hukum.
Sebagai bentuk implementasi awal, Pemerintah Indonesia pada 10 Juli 2025 telah menyerahkan Alexander Vladimirovich Zverev, warga negara Rusia yang menjadi tersangka pelanggaran hukum di negaranya.
“Meskipun perjanjian masih dalam proses ratifikasi, langkah ini menunjukkan komitmen Indonesia dan Rusia dalam memperkuat kerja sama penegakan hukum lintas batas dengan tetap menjunjung prinsip resiprositas, kehati-hatian, dan penghormatan terhadap hak asasi,” lanjut Widodo.
Federasi Rusia sendiri telah meratifikasi perjanjian tersebut melalui Undang-undang Federal No. 512-FZ pada 2 November 2023 yang ditandatangani Presiden Vladimir Putin. Karena itu, Widodo berharap DPR RI segera memberikan persetujuan agar instrumen ratifikasi bisa disampaikan melalui jalur diplomatik, sehingga perjanjian berlaku efektif.
Hingga saat ini, Indonesia telah memiliki 13 perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara, namun perjanjian dengan Rusia menjadi yang pertama di kawasan Eropa.
“Perjanjian ini sangat penting karena memperluas jejaring kerja sama hukum internasional Indonesia dan memperkuat posisi kita dalam menghadapi kejahatan transnasional,” pungkas Widodo.