JAKARTA - Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU), Widodo, menerima kunjungan Asosiasi Penerjemah Profesional dan Tersumpah Indonesia (APPTI) guna membahas berbagai isu strategis terkait penerjemah tersumpah di Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, beberapa poin penting menjadi perhatian bersama, termasuk kondisi 147 penerjemah tersumpah yang daat ini telah terhimpun dalam organisasi namun belum memiliki induk bagi organisasi mereka.
Menanggapi kondisi tersebut, Widodo menegaskan pentingnya pembentukan organisasi penerjemah tersumpah berbadan hukum sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi, mengembangkan kompetensi, serta menetapkan standar kerja, kode etik, dan spesialisasi di bidang penerjemahan.
"Pembentukan organisasi ini harus memenuhi aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis yang diperlukan agar mampu berjalan secara profesional," ujar Widodo.
Dirinya menekankan bahwa anggota penerjemah tersumpah yang sudah diakui oleh negara juga memiliki kebebasan untuk menentukan organisasi yang ingin mereka ikuti jika nanti diterbitkan regulasi resmi oleh Menteri melalui Peraturan Menteri Hukum. Hal ini bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi penerjemah tersumpah secara lebih baik.
Terkait dengan isu jual beli cap dan tanda tangan yang ditemui oleh APPTI di lapangan, Widodo menggarisbawahi pentingnya penyusunan kode etik yang jelas, termasuk pengaturan sanksi sosial dan pemberhentian bagi pelanggar.
"Kode etik harus menjadi pedoman untuk menjaga profesionalisme, termasuk menghindari praktik-praktik yang melanggar hukum," tegasnya.
Selain itu, Widodo juga mendorong kerja sama antara penerjemah tersumpah dengan advokat untuk meningkatkan peran strategis penerjemah dalam proses hukum, serta membuka peluang bagi organisasi untuk terlibat dalam penerjemahan peraturan yang disahkan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Ditjen PP).