JAKARTA – Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) upayakan dapat mencapai target 100% pelaporan Beneficial Ownership (BO), yang dilakukan dengan diskusi bersama anggota Stranas-PK dan 20 instansi terkait yang bertujuan untuk menyamakan persepsi dan merancang langkah strategis yang lebih efektif.
Direktur Badan Usaha, Santun Maspari Siregar menjelaskan bahwa Ditjen AHU telah menjalin kerja sama dengan lima kementerian, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Koperasi dan UKM.
“Meskipun data yang digunakan berasal dari Ditjen AHU, kementerian lainnya juga memberikan dukungan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Namun, implementasi program ini masih perlu ditingkatkan,” tuturnya dalam memimpin diskusi (15/10/24).
Dirinya menambahkan, saat ini aplikasi pelaporan BO di bo.ahu.go.id mencatat angka pelaporan sebesar 46,94% dari total 2.959.291 korporasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan angka ini, antara lain sosialisasi di seluruh kantor wilayah, pengumuman tentang pengisian BO di website AHU, pemblokiran bagi korporasi yang tidak melaporkan BO, serta webinar dan kolaborasi dengan notaris untuk meningkatkan pemahaman.
“Salah satu penyebab rendahnya persentase pelaporan BO adalah banyaknya korporasi yang tercatat dalam database Ditjen AHU namun tidak pernah mengaksesnya. Sejak tahun 2019, tercatat ada 1.389.174 korporasi yang tidak melakukan perubahan apa pun. Akibatnya, mereka tidak menyadari bahwa ada pemblokiran atau pengumuman di website AHU. Jika kita memisahkan korporasi yang tidak aktif ini, capaian pelaporan BO bisa melonjak menjadi 76,85%,” jelas Santun.
Dirinya juga menjelaskan meskipun capaian pelaporan BO baru mencapai 46,85%, Ditjen AHU merasa telah berusaha semaksimal mungkin. Meskipun ada peningkatan dalam data pelaporan, kualitas informasi yang diisi masih menjadi tantangan, karena banyak korporasi yang mengisi data secara sembarangan.
Lebih jauh, beberapa korporasi mengeluhkan kesalahan dalam pelaporan BO dan merasa tidak diakui sebagai BO. Ini menunjukkan perlunya perhatian lebih dalam meningkatkan akurasi dan pemahaman terkait pengisian BO di Indonesia.
“Ke depan, kita berharap kolaborasi antara instansi terkait dapat semakin ditingkatkan. Ini penting untuk mendorong pelaporan BO yang lebih baik dan memastikan semua korporasi memahami serta melaksanakan kewajiban mereka,” tutup Santun.