
Bali - Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly telah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah Federasi Rusia yang diwakili oleh Minister of Justice of Russian Federation, Konstantin Anatolievich Chuichenko di Nusa Dua, Bali (31/3/22). Perjanjian ekstradisi ini merupakan wujud komitmen Pemerintah Indonesia untuk memperkuat kerja sama penegakan hukum lintas batas negara dengan negara-negara mitra, termasuk Rusia, yang sebelumnya telah ditandai dengan penandatanganan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana/mutual legal assistance in criminal matters antara RI dan Rusia di Moskow, pada tanggal 13 Desember 2019 silam.
"Kami sudah menandatangani perjanjian mutual legal assistance in criminal matters dengan Russian Federation pada 2019 di Moskow. Kerja sama bantuan hukum itu untuk bidang kriminal. Rencananya waktu itu, perjanjian ini akan diteken saat Presiden Putin ke Indonesia, tetapi karena COVID-19, itu tidak terjadi. Kami menunggu dan sekarang waktunya," kata Yasonna.
Menkumham Yasonna menambahkan, perjanjian ekstradisi itu penting bagi Indonesia dan Rusia karena memudahkan aparat penegak hukum kedua negara untuk menindak kejahatan, terutama yang sifatnya transnational crimes (kejahatan lintas batas negara).
"Banyak itu, transnational crimes misalnya, cyber crime, pencucian uang atau money laundering, narkotika, korupsi, dan lain-lain, yang dengan perjanjian ekstradisi dan MLA ini memudahkan kami bekerja sama dalam penegakan hukum antar negara," ujarnya.
Jalan panjang penandatanganan perjanjian ekstradisi antara RI dan Rusia telah dimulai sejak tahun 2016 melalui kesempatan pertemuan antara Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI dengan Sekretariat Dewan Keamanan Federasi Rusia. Pada pertemuan tersebut, kedua negara bersepakat untuk menandatangani pernyataan bersama (joint statement) yang dilandasi adanya kesadaran untuk memperkokoh kerja sama bilateral antara kedua negara, termasuk untuk menanggulangi permasalahan keamanan dan hukum secara efektif.
Dengan dilandasi adanya kesamaan pandangan yang tertuang dalam pernyataan bersama tersebut, kemudian pada tahun 2017, kami selaku Menteri Hukum dan HAM bersama-sama dengan Minister of Justice of Russian Federation, di sela-sela sidang Conference of the States Parties to the United Nations Convention against Corruption ke-7 di Vienna, Austria, menyatakan komitmen dan sepakat untuk mengembangkan kerja sama bilateral di bidang penegakan hukum, salah satunya melalui pembentukan perjanjian yang memungkinkan dilaksanakannya penanganan ekstradisi secara efektif dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kedaulatan hukum kedua negara.
Pembahasan perundingan Perjanjian Ekstradisi RI-Rusia ini telah dimulai sejak tahun 2018 melalui 2 (dua) putaran perundingan yang dipimpin oleh Central Authority dalam hal ini Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum dan melibatkan pejabat dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri RI, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Setelah kedua negara menyatakan komitmennya dalam sejumlah high-level meeting, RI dan Rusia bersama-sama telah bergerak secara cepat untuk memastikan perjanjian ekstradisi antara RI dan Rusia dapat segera ditandatangani dan menjadi dokumen yang mengikat komitmen penegakan hukum kedua negara.
Upaya Pemerintah RI untuk bergerak cepat agar penandatanganan perjanjian ekstradisi antara RI dan Rusia dapat segera terlaksana dilandasi pada pertimbangan bahwa perjanjian ekstradisi ini nantinya akan menjadi fondasi dalam meletakkan kewajiban hukum kedua negara dalam memenuhi permintaan ekstradisi beserta ketentuan hukum dan prosedur yang akan menjembatani perbedaan ketentuan hukum kedua negara dalam mengeksekusi/memenuhi suatu permintaan ekstradisi.
Pembentukan perjanjian ekstradisi antara RI dan Rusia menjadi sangat krusial dengan menyadari bahwa baik Indonesia maupun Rusia memiliki wilayah teritorial yang sangat luas sehingga rentan dimanfaatkan sebagai tempat melarikan diri pelaku tindak pidana. Faktor geografis ini kemudian berkaitan dengan data faktual yang menunjukkan bahwa people-to-people contact antara kedua negara terjadi dengan sangat intensif mengingat hubungan diplomatik RI-Rusia yang telah terjalin dengan baik selama 73 tahun sejak 3 Februari 1950, dimana saat itu Rusia masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, nilai perdagangan Indonesia-Rusia tahun 2021 sebesar US$ 2,746 miliar dengan total ekspor Indonesia ke Rusia sebesar US$ 1,492 miliar. Sementara itu, tahun 2022 nilai perdagangan kedua negara sebesar US$ 3,567 miliar, naik 29,87% dari tahun 2021, dengan nilai ekspor Indonesia ke Rusia sebesar US$ 1,386 miliar dimana produk unggulan Indonesia di pasar Rusia antara lain minyak sawit (CPO), karet alam, kopra, stainless steel, dan tekstil. Bisa dikatakan, Rusia merupakan pasar potensial (untapped market) bagi produk Indonesia di kawasan Eropa Tengah dan Timur. Sementara itu, menurut Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, jumlah wisatawan Rusia ke Indonesia tahun 2019 mencapai 158.943 orang. Bahkan pada tahun 2022, ketika masih di dalam masa pandemi Covid-19, jumlah wisatawan Rusia ke Indonesia berjumlah 74.143 orang, naik 783,50% dari tahun 2021 sebanyak 8.392 orang. Kedepannya, jumlah wisatawan Rusia ke Indonesia diprediksi akan terus meningkat.
Dengan menyadari fakta dimaksud, Pemerintah RI memandang bahwa penandatanganan perjanjian ekstradisi antara RI dan Rusia menjadi pilihan logis serta jalan keluar dalam mengantisipasi risiko dan kerentanan dimaksud. Terlebih, menurut catatan kami sejak tahun 2017 hingga saat ini, Indonesia telah menindaklanjuti setidaknya 4 (empat) permintaan ekstradisi dari Rusia terhadap buronannya yang berada di Indonesia dan 1 (satu) di antaranya saat ini tengah diproses guna menentukan dapat atau tidaknya buronan tersebut untuk diekstradisikan ke Rusia.
Adapun selain ekstradisi, mekanisme pemulangan para pelaku tindak pidana juga dapat dilakukan melalui mekanisme deportasi dan kerja sama keimigrasian, namun hal ini tidak meletakkan kewajiban pada negara diminta dan sangat bergantung dengan kebijakan keimigrasian negara diminta. Maka dari itu kerja sama ekstradisi tetap menjadi opsi yang utama karena ekstradisi bersifat formal dan mengikat.
Perjanjian ekstradisi antara RI dan Rusia yang baru saja ditandatangani merupakan perjanjian ekstradisi pertama antara RI dengan negara di Benua Eropa. Posisi strategis Rusia sebagai Anggota Dewan Keamanan PBB, G20, serta Eurasian Economic Union yang beranggotakan Armenia, Belarus, Kazakhstan, dan Kyrgystan dapat dimanfaatkan oleh RI untuk membangun reputasi dan kredibilitas dalam hal keamanan dan penegakan hukum serta membuka jaringan kerja sama yang lebih luas dengan negara-negara yang telah memiliki kerja sama dengan Rusia.
Selain itu, mengingat bahwa saat ini RI tengah berupaya untuk menjadi anggota tetap Financial Action Task Force (FATF) guna membangun dan memelihara stabilitas dan integritas sistem keuangan serta penegakan hukum yang berfokus pada pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, maka perjanjian ekstradisi antara RI dan Rusia ini akan menjadi sinyalemen yang menunjukkan bahwa RI senantiasa berdiri pada komitmen yang kuat untuk mendukung pemberantasan tindak pidana yang mengancam stabilitas dan integritas sistem keuangan.