
Perundingan perjanjian ekstradisi dengan Papua New Guinea dilatarbelakangi kepentingan Indonesia yang cukup besar dalam rangka proses ekstradisi terpidana pelaku tindak pidana korupsi berinisial JST, dimana permintaan ekstradisi dari Indonesia kepada Pemerintah Papua New Guinea telah disampaikan pada tahun 2012 untuk terpidana JST. Adapun target penandatanganan perjanjian ekstradisi direncanakan akan dilakukan pada bulan Juni 2013 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung Papua New Guinea pada saat kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Papua New Guinea (Peter O’Neil) ke Indonesia. Diharapkan dengan adanya perjanjian ekstradisi antara kedua negara akan mendukung dan memperlancar proses ekstradisi terpidana korupsi JST. Perundingan dibuka oleh Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung (Minister for Justice and Attorney General) Papua New Guinea (Mr. Kerega Kua) dan mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam sambutan tersebut adalah Duta Besar Republik Indonesia di Port Moresby (Bapak Alexander Sitepu). Dalam sambutannya Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung Papua New Guinea dan Duta Besar Republik Indonesia di Port Moresby menyampaikan pemahaman yang sama bahwa sudah saatnya antara Indonesia dan Papua New Guinea menjalin kerjasama yang memperkuat hubungan bilateral kedua negara, khususnya kerjasama di bidang penegakan hukum.
Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Plt. Direktur Perjanjian Polkamwil Kementerian Luar Negeri (Oktavino Alimudin) dan anggota Delegasi RI terdiri dari unsur Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Hendra Gurning dan Yophie Yudho Nugroho), Kementerian Koordinator Bidang Polhukam, serta Kementerian Luar Negeri. Adapun Delegasi Papua New Guinea dipimpin oleh Deputy Secretary General for Legal and Justice Administration (Mr. Jack Kariko) dan anggota Delegasi Papua New Guinea terdiri dari unsur Department of Justice and Attorney General of Independent State of Papua New Guinea, Minsitry of Foreign Affairs, dan Prosecutor.
Dalam 3 (tiga) hari perundingan telah menghasilkan Draft Final Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Papua New Guinea yang terdiri dari 26 Pasal dan naskah final perjanjian tersebut akan ditindaklanjuti dengan proses penterjemahan sebelum ditandatangani serta untuk proses pengesahan (ratifikasi) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perundingan sendiri berjalan cukup lancar dan akomodatif terhadap beberapa argumen yang dikemukakan oleh Delegasi dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun isu-isu penting yang mengemuka dalam perundingan adalah:
1.Kedudukan Central Authority kedua negara yang mengacu kepada kesamaan tugas pokok dan fungsi terkait prosedur assesment ekstradisi antara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dan Deputy Secretary General for Legal and Justice Administration pada Kantor Department of Justice and Attorney General of Independent State of Papua New Guinea.
2.Terkait kejahatan politik (political offence) dimana Papua New Guinea menghendaki definisi kejahatan politik secara umum, namun Delegasi RI berhasil meyakinkan Delegasi Papua New Guinea terkait pentingnya penentuan parameter atas kejahatan politik.
3.Terkait ekstradisi warga negara sendiri, pada awalnya Papua New Guinea menghendaki ketentuan ini merupakan ketentuan yang menolak ekstradisi secara mandatory, serta memposisikan penentuan kewarganegaraan oleh Papua New Guinea berdasarkan konstitusi yang dimiliki, namun pada akhirnya diperoleh rumusan yang mendukung kepentingan nasional Indonesia yaitu “For the purpose of this article, nationality of the person sought shall be strongly considered on the basis of his/her nationality at the time of the commission of the offence for which extradition is requested”.
4.Terkait dengan ekstradisi terhadap terpidana yang telah diputus oleh pengadilan secara in absentia, maka terdapat posisi Papua New Guinea yang menginginkan adanya prosedur retrial (peradilan ulang) dimana hal ini tidak diatur dalam sistem hukum di Indonesia. Setelah argumen diberikan dengan meminta Papua New Guinea merujuk kepada prinsip nebis in idem (double jeopardy) maka pada akhirnya Papua New Guinea setuju untuk menghapus posisinya yang mengedepankan proses retrial.
Diharapkan dalam waktu kedepan dan segera, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (cq. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum) menyelenggarakan rapat untuk proses terjemahan naskah final perjanjian sebagai suatu persyaratan dalam permohonan full powers bagi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Papua New Guinea yang dijadwalkan dalam waktu dekat (Juni 2013) di Istana Negara pada saat kunjungan dan pertemuan antara Perdana Menteri Peter O’Neil ke Indonesia dengan Presiden Republik Indonesia. (sumber: Hendra Gurning/ posted by PS)