
JAKARTA - Duta Besar Tiongkok untuk RI Lu Kang mendatangi kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), kedatangan Lu Kang adalah untuk membicarakan tentang ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Diketahui Indonesia dan Tiongkok telah menandatangani perjanjian ekstradisi pada tanggal 1 Juli 2009 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 13 Tahun 2017 Tentang Pengesahan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China tentang Ekstradisi (Treaty Between The Republic of Indonesia and The People’s Republic of China on Extradition).
Lu Kang yang datang disambut hangat oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly didampingi oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Cahyo R. Muzhar dan Direktur Otoritas Pusat Hukum Internasional Tudiono.
Yasonna mengatakan, sampai dengan Maret 2022, Indonesia telah menerima 1 (satu) permintaan ekstradisi pada tahun 2010. Walaupun pada perkembangannya, permintaan Ekstradisi tersebut tidak dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah RI mengingat sesuai batas waktu yang ditentukan.
''Pemerintah Tiongkok tidak dapat melengkapi dokumen persyaratan permintaan ekstradisi sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan selanjutnya pada tanggal 3 Agustus 2010 dilakukan tindakan pendeportasian,” ucap Yasonna dihadapan Lu Kang, Rabu (27/04/22).
Sementara itu, Cahyo R. Muzhar menambahkan mobilisasi pada aktivitas lintas batas negara baik secara ekonomi maupun sosial, termasuk antara Indonesia dan RRT sangat meningkat, Hal itu juga diikuti dengan meningkatnya hubungan keperdataan dan komersial antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan/atau Badan Hukum Indonesia (BHI) dengan WN dan/atau Badan Hukum RRT dimaksud, antara lain melalui perkawinan campuran antara WNI dan WN RRT, kontrak bisnis, serta kerja sama investasi/penanaman modal antara Indonesia dan RRT.
''Dinamika hubungan hukum keperdataan lintas batas negara ini menjadi peluang sekaligus tantangan yang harus dapat diantisipasi segala dampak hukumnya, termasuk adanya persinggungan antar hukum keperdataan nasional, khususnya dalam hal terjadi sengketa/perselisihan,'' ungkap Cahyo.
Lanjut Cahyo, saat ini Indonesia sedang dalam tahap penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Perdata Internasional (HPI), yang pada pokoknya mengatur mengenai Choice of Law (Pilihan Hukum) yang harus diberlakukan untuk mengatur dan/atau menyelesaikan persoalan-persoalan hukum perdata yang mengandung unsur asing, Choice of Forum/Jurisdiction (Pilihan Forum) Badan Peradilan yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara hukum perdata yang mengandung unsur asing. Sehingga Pengadilan Indonesia memiliki yurisdiksi atas suatu perkara HPI dan kapan Pengadilan Indonesia dapat menolak kewenangan mengadili atas perkara.
''RRT memiliki pengaturan terkait HPI yang dimuat pada Law of the People’s Republic of China on the Laws Applicable to Foreign-related Civil Relations (“Conflicts Act”) yang telah berlaku efektif sejak 1 April 2011. Conflicts Act mengatur mengenai pilihan hukum dalam hal hubungan keperdataan yang berdimensi asing. Adapun terkait pengakuan dan pelaksanaannya diatur dalam putusan pengadilan asing,'' tutupnya.
(Sun/Agp)