
JAKARTA – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly melantik Prof. Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum.; Min Usihen, S.H., M.H.; dan Dr. Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H. menjadi Majelis Pengawas Pusat Notaris (MPPN) dan Prof. Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum. yang merangkap menjabat sebagai Majelis Kehormatan Pusat Notaris (MKNP) periode 2019-2022.
Pelantikan tersebut merupakan Pergantian Antar Waktu (PAW) sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.HH-01.AH.02.07 Tahun 2022, Nomor: M.HH-02.AH.02.07 Tahun 2022, dan AHU-33.AH.02.07 Tahun 2022.
Dalam sambutannya, Yasonna mengatakan pentingnya peran aktif Majelis Pengawas Notaris (MPN) dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dugaan pelanggaran jabatan yang dilakukan oleh Notaris. Pasalnya, laporan dugaan pelanggaran tidak hanya disampaikan oleh masyarakat, tetapi juga hasil pemeriksaan berkala Majelis Pengawas Daerah (MPD), dan dari Aparat Penegak Hukum, atau dari PPATK.
Jika Notaris diduga terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT), pemeriksaan akan dilakukan secara berjenjang mulai dari MPD, Majelis Pengawas Wilayah (MPW), hingga MPPN.
"Tugas dan jabatan sebagai anggota MPPN dan MKNP merupakan tugas yang sangat mulia sekaligus membutuhkan kejujuran, ketulusan, dan kedisiplinan," kata Yasonna, di Jakarta Rabu (16/3/22).
Yasonna menambahkan, dalam menjalankan jabatannya Notaris harus bertindak profesional, jujur, amanah, dan tidak memihak dalam memberikan layanan kepada masyarakat sesuai dengan kode etik jabatan Notaris dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mengamanatkan bahwa pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menkumham dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perilaku dan pelaksanaan jabatan Notaris, serta MKN yang mempunyai kewenangan memberikan penolakan atau persetujuan terhadap pengambilan fotocopy minuta akta dan pemanggilan Notaris untuk kepentingan proses peradilan, penyidikan, dan penuntutan.
"MPN dan MKN merupakan perpanjangan tangan Menkumham dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris, agar kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat sebagai pengguna jasa Notaris dapat diwujudkan melalui keberadaan majelis sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan jabatan Notaris," tambahnya.
Lebih jauh Yasonna menyampaikan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan jabatan Notaris yaitu masuknya Indonesia dalam keanggotaan Financial Action Task Force (FATF), dimana Notaris sebagai salah satu pihak pelapor wajib menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ).
Berdasarkan hasil riset PPATK, ditemukan fakta bahwa pelaku TPPU dan TPPT seringkali memanfaatkan jasa Notaris dalam menjalankan aksinya. Terhadap kewajiban penerapan PMPJ tersebut, Majelis Pengawas sebagai Lembaga Pengawas Pengatur bagi Notaris mempunyai tugas melakukan pengawasan kepatuhan penerapan PMPJ dan pelaporan terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan.
"Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara MPN dan PPATK dalam melakukan pengawasan kepatuhan penerapan PMPJ, agar iklim ramah investasi dan kemudahan berusaha dapat terhindar dari TPPU dan TPPT," lanjutnya.
Yasonna mengatakan bahwa jumlah Notaris di seluruh Indonesia berjumlah lebih dari 19 ribu orang dengan jumlah akta yang dibuat per-tahun rata-rata mencapai 5 (lima) juta akta. Pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris dalam pembuatan akta, merupakan tugas yang cukup berat sebagai anggota MPN dan MKN.
"Saya minta kepada majelis untuk bersikap tegas, cepat, dan responsif dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris, melalui penguatan kelembagaan maupun pengenaan sanksi terhadap Notaris," tutup Yasonna.