
BALI - Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Cahyo R. Muzhar mengatakan bahwa notaris harus tetap bersedia untuk menjadi tempat berkonsultasi dan melakukan pendampingan terhadap pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang akan mendirikan perseroan perorangan secara elektronik, walaupun pendiriannya tidak memerlukan akta notaris.
“Saya berpesan kepada para anggota Majelis Pengawas Wilayah Notaris (MPWN) dan Majelis Pengawas Daerah Notaris (MPDN), untuk menindaklanjuti apabila terdapat laporan adanya notaris yang tidak mau membantu pelaku UMK yang hendak mendirikan perseroan perorangan” kata Cahyo R. Muzhar saat membuka Rapat Koordinasi MPWN dan MPDN Provinsi Bali, di Denpasar Bali (21/10/21).
Cahyo menjelaskan, perlunya memberi perhatian kepada sektor UMK karena jumlahnya yang sangat besar, yaitu lebih dari 60 juta dan menyerap lebih dari 113 juta tenaga kerja.
“Sejarah membuktikan, UMK merupakan tulang punggung yang menyelamatkan perekonomian nasional pada krisis tahun 1998 yang lalu” terangnya.
Lebih jauh, Dirjen AHU menjelaskan arahan Presiden Joko Widodo selain mewujudkan kemudahan berusaha di Indonesia, juga ingin kepastian dan keamanan terhadap aktivitas bisnis bagi pelaku usaha dan investor dapat berjalan dengan aman.
“Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Ditjen AHU, mendapatkan tugas untuk mengawal sektor kemudahan berusaha dan berhasil merumuskan konsep serta memperkenalkan jenis badan hukum baru dengan target pelaku UMK, yaitu perseroan perorangan dengan tanggung jawab terbatas atau sole proprietorship with limited liability” ujarnya.
Cahyo juga menyampaikan keinginan Presiden agar Indonesia dapat menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF). FATF merupakan organisasi antar pemerintah di dunia yang bertujuan untuk memastikan bahwa negara anggotanya memiliki standar yang efektif dalam upaya memerangi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), dan ancaman lain terhadap integritas sistem keuangan internasional.
Untuk menjadi anggota FATF, Indonesia harus mendapatkan penilaian largely compliance terhadap lebih dari 35 (tiga puluh lima) rekomendasi FATF. Yang berkaitan dengan notaris adalah rekomendasi nomor 23 (dua puluh tiga) tentang Profesi Notaris sebagai Pihak Pelapor, dan 28 (dua puluh delapan) tentang Regulasi dan Supervisi.
“Pemenuhan rekomendasi tersebut dilakukan bersamaan dengan penyusunan penilaian resiko Nasional Risk Assessment (NRA) terhadap TPPU dan TPPT di berbagai sektoral, yang merupakan hasil penilaian resiko sektoral notaris terhadap TPPU dari kerja sama antara Ditjen AHU dan PPATK” tuturnya.
Cahyo juga menerangkan salah satu bentuk kontribusi profesi notaris terhadap Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, yakni dengan pengisian form Customer Due Diligence dan penyampaian transaksi mencurigakan melalui aplikasi Government Anti-Money Laundering (goAML).
“Notaris diwajibkan mendaftar pada aplikasi tersebut dan melaporkan setiap transaksi keuangan yang mencurigakan melalui aplikasi goAML, dan bukan menjadi beban yang mengerikan bagi notaris. Justru sebaliknya, goAML ada untuk melindungi notaris agar tidak terseret dalam transaksi ilegal yang dilakukan para penghadap” terangnya.
Cahyo berpesan kepada MPWN dan MPDN khususnya di Provinsi Bali untuk bersikap tegas dan memberikan sangsi terhadap oknum notaris yang melakukan pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu, notaris diharapkan mampu melakukan penemuan hukum dan menjadi konsultan hukum bagi pengguna jasa atau penghadap.
“Saya minta Majelis Pengawas meningkatkan pembinaan terhadap para notaris yang bertujuan agar para notaris dapat betul-betul menerapkan prinsip kehati-hatian dalam membuat akta sehingga menghasilkan minuta akta yang cermat, serta menghindari perilaku yang melanggar kode etik seperti pembuatan akta nominee yang jelas melanggar hukum atau tidak benar-benar berhadapan dengan penghadap” tutupnya.