
Tangerang - Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) kembali melakukan penyusunan Rancangan Undang-Undang Jaminan Benda Bergerak (RUU Jaminan Benda Bergerak). RUU ini dianggap sebagai terobosan yang akan memudahkan pelaku usaha, termasuk investor asing, untuk mendapatkan pinjaman melalui metode penjaminan benda bergerak yang terintegrasi dalam satu sistem. Undang-Undang (UU) Benda bergerak ini juga diklaim akan mengingatkan peringkat getting credit Indonesia yang saat ini berada pada peringkat 48 (empat puluh delapan) di dunia.
"Melalui RUU Jaminan Benda Bergerak kami berharap dapat menyusun sistem penjaminan yang unitary, sehingga efektif dalam memaksimalkan nilai objek pinjaman dan dapat menguntungkan debitur, dengan tetap memberikan kepastian hukum dalam proses eksekusi sehingga melindungi hak kreditur" kata Direktur Jenderal
Administrasi Hukum Umum, Cahyo R. Muzhar, saat membuka Focus Group Discussion Penanganan Permasalahan Fidusia Dengan Stakeholder/Instansi terkait, dalam kegiatan Focus Group Discussion dihadiri oleh seluruh Pimpinan Tinggi Ditjen AHU dan seluruh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, di Tangerang, (Senin 30/8/21).
Cahyo menyebut hal ini adalah salah satu cara Pemerintah untuk mendorong investasi dalam rangka penyederhanaan perizinan dan pemangkasan regulasi. Pasalnya, jika memperhatikan best practices dan standar internasional salah satu standar yang telah diterima secara konsensus sebagai salah satu tolak ukur yang digunakan oleh investor dalam melakukan investasi adalah survei Ease of Doing Business (EoDB).
Diketahui, saat ini Indonesia berada di peringkat 73 dari 190 negara, dibawah negara-negara seperti Vietnam di peringkat 70, Kenya di peringkat 56, Chile di peringkat 59, Rwanda di peringkat 38, Thailand di peringkat 21, Malaysia di peringkat 12, hingga Singapura yang menduduki peringkat 2. Kementerian Hukum dan HAM khususnya Ditjen AHU mengambil peran menjadi salah satu instansi yang berperan penting dalam meningkatkan peringkat Indonesia pada penilaian yang dilaksanakan oleh World Bank tersebut dari 10 (sepuluh) indikator utama EoDB.
"Kita bertanggung jawab untuk melakukan reformasi terkait indikator starting a business, resolving insolvency, dan getting credit" ucapnya.
Selain EoDB, Indonesia saat ini tengah menjalani proses untuk dapat menjadi anggota dari anggota Financial Action Task Force (FATF). Kita merupakan satu-satunya anggota G-20 yang belum menjadi anggota FATF, sehingga proses keanggotaan ini sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap sistem keuangan di Indonesia.
"Hal tersebut penting untuk menjaga nilai rupiah, hingga letter of credit kita agar diterima perbankan internasional" terangnya.
Cahyo menambahkan, saat ini, banyak metode penjaminan benda bergerak seperti gadai, jaminan fidusia, hingga resi gudang yang seringkali menimbulkan tumpang tindihnya penjaminan sehingga menyebabkan sulitnya proses eksekusi ataupun membuat nilai jaminan menjadi turun.
"Jangan sampai tumpang tindih peraturannya, sehingga efektif dalam menghasilkan sebuah rekomendasi terkait hal-hal yang harus diatur agar memastikan data fidusia tetap akurat" tambahnya.
Selain itu Cahyo menyampaikan untuk langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh setiap Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM setelah proses pengalihan data fidusia ke pangkalan data fidusia online, "kita akan bahas dengan para pakar pada kegiatan ini untuk perumusan kebijakan guna meningkatkan layanan jaminan fidusia, serta menyelesaikan permasalahan dalam pemberian layanan jaminan fidusia kepada masyarakat" tutupnya.