
Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor 18/PUU-XVIII/2019 tanggal 6 Januari 2020 mengenai Judicial Review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) yang mana putusan MK tersebut menurut masyarakat tidak memiliki kejelasan atas prosedur/ mekanisme penentuan kesepakatan cindera janji (Wanprestasi) dan mekanisme proses eksekusi jika amar putusan MK tidak dipenuhi.
“Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi atau menyulitkan proses eksekusi objek jaminan fidusia yang nantinya akan berdampak terhadap perekonomian secara global” ungkap Kepala Subdirektorat Jaminan Fidusia, Iwan Supriadi, mewakili Direktur Perdata Direktorat Jenderal Admunistrasi Hukum Umum, Santun M. Siregar dalam memberikan keynote speech dalam kegiatan Bimbingan Teknis Jaminan Fidusia kepada masyarakat dan atau pelaku usaha di Hotel Mercure, Padang, Senin (24/05/21).
Untuk memperjelas kepastian putusan MK tersebut Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) mengadakan kegiatan Bimbingan Teknis kepada masyarakat dan atau pelaku usaha bekerjasama dengan Divisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat dengan tujuan untuk memberikan pemahaman lebih.
Pada penjelasannya Iwan Supriadi mengatakan bahwa, putusan MK tidak serta merta menghilangkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan eksekusi jaminan fidusia. Putusan tersebut hanya memberikan pemaknaan jika terdapat perselisihan, maka proses eksekusi dilakukan dengan mengajukan eksekusi ke pengadilan bukan gugatan ataupun meminta putusan ke pengadilan.
“Tatacara eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan pada ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg memiliki inti, yaitu dengan mengajukan permohonan penetapan eksekusi ke pengadilan” tuturnya.
Iwan Supriadi melanjutkan, keputusan MK tersebut memiliki tujuan memberikan perlindungan hukum kepada para pihak sepanjang sejalan dengan amar putusan MK yang dimaksud.
Selain itu eksekusi jaminan fidusia oleh Penerima Fidusia (kreditur) dapat dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
“Kreditur dapat mengeksekusi jika sudah memenuhi 2 (dua) syarat secara kumulatif, yaitu pertama adanya kesepakatan tentang telah terjadinya cidera janji (wanprestasi) dan kedua yaitu Pemberi Fidusia (debitur) dengan sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka eksekusi” jelasnya.
Tidak hanya memberikan bimbingan teknis mengenai keputusan MK, kegiatan ini juga membahas mengenai diundangkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Nomor 17 tahun 2020 tentang Tata Cara Permohonan Data Jaminan Fidusia pada tanggal 2 Juli 2020.
Jaminan fidusia memiliki prinsip publisitas yang merupakan terbukanya informasi mengenai adanya pembebanan jaminan fidusia terhadap suatu objek tertentu agar dapat diketahui oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap benda jaminan.
Acara dihadiri dari kalangan Notaris, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, Kepolisian, Lembaga Pembiayaan, dan Akademisi di harapkan nantinya pemahan para peserta dapat meningkat.
“Kami berharap dapat meningkatkan efektifitas pemberian pemahaman kepada masyarakat khususnya di Sumatra Barat terkait Tata Cara Eksekusi Jaminan Fidusia pasca Putusan MK, serta Peraturan Menteri Hukum HAM Nomor 17 Tahun 2020 tentang Tata Cara Permohonan Data Jaminan Fidusia” tutup Iwan Supriadi.