
TANGERANG - Direktur Perdata Santun Maspari Siregar mewakili Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkum HAM) Cahyo R.Muzhar membuka Konsinyering Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Santun mengatakan dalam pembahasan RUU Perubahan ini, koordinasi dengan beberapa pihak sangat dibutuhkan baik dengan Ditjen Peraturan Perundang - undangan (PP), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan unit terkait.
" Saya sampaikan terimakasih atas dukungan penuh tim dari Ditjen PP, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) serta unit lain baik itu perancangan undang-undang, perancangan peraturan pemerintah yang sudah banyak membantu dalam pembahasan ini" kata Santun di Tangerang, Minggu (25/10/20).
Santun mengatakan pihaknya menggarisbawahi beberapa hal terkait rancangan Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Apakah perubahan atau pergantian kepailitan dengan mencabut undang-undang yang ada. Pasalnya, urgensinya pada tuntutan dan bukan tekanan tapi kebutuhan untuk melakukan penyesuaian terhadap rancangan undang-undang dari sisi tuntutan dari pemerintah untuk mendorong kemudahan berusaha di Indonesia.
Dia menambahkan dengan perubahan ini dipandang menjadi salah satu hal yang dapat membuat investor asing menaruh kepercayaan besar terhadap regulasi untuk berinvestasi di Indonesia.
"Kita mendorong kemudahan berusaha ini melalui penyesuaian khususnya tentang kepailitan karena berdasarkan survey dan evaluasi yang dilakukan oleh world bank bahwa di Indonesia cenderung mempailitkan suatu korporasi dianggap terlalu mudah" ujarnya.
Berdasarkan hasil laporan dari World Bank tahun 2019, Indonesia masih menduduki peringkat 73 dari 190 negara dari segi indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/ EoDB).
Menurut Santun, Pemerintah melalui Presiden menargetkan peringkat EoDB tersebut naik menjadi posisi 40 an.
Dia juga menyatakan, tidak menuntut kemungkinan ada hal-hal lain yang perlu kita rumuskan selain masalah yang sudah dirumuskan dalam naskah akademis oleh BPHN dalam rancangan undang-undang ini. Dia juga mengungkapkan perlu disampaikan beberapa permasalahan yang ditemukan terkait kepailitan ini karena cenderung banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu karena dari sisi resolving insolvency belum dikategorikan tidak mampu dalam membayar utang tetapi hanya karena kondisi tertentu.
" Mereka tidak dapat membayar namun aset dan kemampuan membayar utang (solvabilitas) masih tinggi dan langsung digugat pailit" tuturnya.
Substansi perubahan undang-undang kepailitan ini juga sudah disusun oleh tim bersama Ditjen AHU terkait dengan perubahan yang diawali dari naskah akademis.
"Setidaknya ada 16 poin yang menjadi substansi perubahan undang-undang kepailitan termasuk diantaranya syarat-syarat kepailitan, pembuktian sederhana publikasi kepailitan, permohonan pailit oleh otoritas jasa keuangan, permohonan pailit terhadap BUMN, kewenangan panitera, penyampaian salinan keputusan pengadilan, waktu pelaksanaan profesi kurator dan pengurus" tutupnya.