MANADO - Sebagai bagian dari pelaksanaan Perpres No. 13 Tahun 2018 tentang penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana terorisme, Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) mengeluarkan Permenkumham No.15 Tahun 2019 tentang tata cara penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari Korporasi atau yang biasa disebut Beneficial Ownership (BO).
Hal tersebut dikuatkan dengan penandatanganan nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama tentang penguatan dan pemanfaatan basis data pemilik manfaat oleh enam kementerian dalam rangka pencegahan korupsi di ranah korporasi yaitu, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Untuk memberitahukan dan menginformasikan adanya Beneficial Ownership kepada masyarakat secara luas, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) terus lakukan sosialisasi kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam rangka penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana terorisme.
‘’Beneficial Ownership adalah langkah Indonesia untuk mencegah tindak pidana korupsi, praktik pencucian uang, dan pembiayaan terorisme yang merupakan syarat untuk menjadi anggota Financial Action Taks Force (FATF)’’ kata Sesditjen AHU, Danan Purnomo, di Manado, Kamis (17/10/2019).
Dia menambahkan, sosialisasi ini adalah sebagai wujud komitmen Indonesia mengembangkan dan mempromosikan kebijakan baik nasional dan internasional dalam rangka memerangi pencucian uang maupun pendanaan terorisme.
Sejalan dengan itu, Ahmad Taufik narasumber yang dihadirkan mewakili Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan bahwa, bertujuan dari BO adalah untuk pencegahan korupsi lebih dini. korporasi kata Dia, rentan digunakan sebagai tindak pidana korupsi, karena korporasi dinilai mempunyai celah yang cukup luas untuk digunakan sebagai pencucian uang.
‘’ korporasi sangat rentan digunakan sebagai tindak pidana korupsi, ini lah yang menjadikan Ditjen AHU terus melakukan sosialisasi karena legal formal korporasi ada pada Ditjen AHU’’ ujarnya.
Lebih jauh, Direktur Perdata Daulat Pandapotan Silitonga menjelaskan dengan Beneficial Ownership ini dapat diketahui pemilik manfaat yang sebenarnya. Dirinya juga sebut Pemilik manfaat harus memiliki 25% dalam saham dan namanya tercantum dalam perseroan terbatas kepemilikan saham sebenarnya.
"Harus jelas dan tercantum dalam akta perseroan atau dokumen sah lainnya’’ jelasnya.
Menurutnya, tercantum dalam akta perseroan atau dokumen sah lainnya adalah hal yang wajib dilakukan oleh pemegang saham dalam korporasi, jika terdapat person yang tidak tercantum dalam akta perseroan tetapi mempunyai otoritas penuh mengendalikan pengelolaan perusahaan atau hal lainnya itulah yang sebenarnya dapat diketahui melalui BO , Dia juga sebut ada Jumlah Korporasi yang sudah melaporkan diantaranaya Perseroan yang berjumlah 3507, Perkumpulan berjumlah 2558, CV berjumlah 1651, Firma berjumlah 32 dan Persekutuan Perdata berjumlah 7.Tindak pidana pencucian uang (money laundering), sambung Daulat, dianggap sebagai suatu kejahatan yang mempunyai ciri khas yaitu kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian.
‘’inilah yang bisa merusak sendi sendi ekonomi bangsa’’ tutupnya.