
JAKARTA – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan Pemilu 2019 yang merupakan pemilu serentak pertama antara Pemilihan Legistaltif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) sudah memunculkan konstruksi ketatanegaraan yang mengarah pada persamaan visi antara partai politik dengan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diusung.
“Dengan kondisi Pemilu serentak ini, maka Presiden lebih leluasa dalam menyusun kabinetnya ke depan. Tentunya dengan pertimbangan Menteri yang diangkat mampu seirama dengan kinerja Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan mencapai target pembangunan yang dituju,” kata Yasonna saat menyampaikan keynote speech pada Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) Ke-6, di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Dia menjelaskan mengingat kondisi di Indonesia saat ini, maka sangat dibutuhkan sosok menteri yang ahli dibidangnya, berintegritas dan memiliki loyalitas kepada Presiden. Namun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan Pileg dan Pilpres dilaksanakan serentak kemudian diikuti oleh Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, telah membangun suatu konstruksi penguatan sistem presidensial melalui pengisian kabinet.
“Desain Pemilu sebelumnya, yang memisahkan waktu antara Pileg dan Pilpres, ditengarai selalu menghadirkan kompromi-kompromi politik sebelum pengusungan capres dan cawapres. Dengan kata lain, masih menempatkan pola transaksional sebagai pendekatan awal pengusungan capres dan cawapres. Kondisi ini berubah setelah Pemilu 2019 berjalan serentak,” ujarnya.
Yasonna mengungkapkan sudah 17 tahun kehidupan ketatanegaraan menggunakan UUD Tahun 1945 hasil perubahan sudah dijalani. Banyak Raihan positif dalam kehidupan kenegaraan yang sudah dinikmati dan dicapai. Namun kita tidak boleh berpuas diri, evaluasi sterhadap sistem ketatanegaraan harus terus dilakukan dengan perkembangan zaman.
“Salah satu evaluasi yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir yakni pandangan bahwa perubahan UUDNRI Tahun 1945 pada saat itu hanya berfikir penataan kelembagaan, pengisian jabatan, dan hubungan antar lembaga, namun tidak memberi perhatian terhadap pentingnya keberadaan haluan negara,” jelasnya.
Haluan negara yang dimaksud, sambung dia, merupakan kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan dasar (directive principles) tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945 ke dalam sejumlah pranata publik. Sehingga dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan nasional secara terencana dan terpadu serta berkelanjutan.
“Keberadaan haluan negara akan melengkapi Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD sebagai hukum/norma dasar,” imbuhnya.
Yasonna menambahkan saat ini keberadaan haluan negara tidak diatur dan bahkan tidak disebut dalam UUD. Haluan negara tersebut diserahkan pengaturan dan penetapannya sebagai materi muatan yaitu dengan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
“Berbagai kesulitan ditemui jika haluan negara diatur dalam Undang-Undang yaitu menyulitkan pelaksanaan RPJP, Pasalnya baik pemerintah daerah maupun cabang kekuasaan lain memiliki kewenangannya yang otonom sebagaimana diatur secara khusus dalam undang-undangnya masing-masing,” kata dia.
Lebih jauh, dia berharap KNHTN Ke-6 yang bertemakan “Problematika Kabinet Presidensial : Pengalaman dan Masa Depan” dapat secara komprehensif mengkaji persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tema membentuk kabinet presidensial yang efektif, sehingga mendapatkan rekomendasi yang bersifat solutif demi semakin baiknya penyelenggaraan pemerintahan ke depan. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi membuka KNHTN ke-6 di Istana Negara Jakarta.
KNHTN kali ini diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Universitas Jember dan Kementerian Hukum dan HAM.