Jakarta - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) kembali menggelar sidang lanjutan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) selaku pengugat atas tergugat pemerintah diwakili Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), berlangsung di ruang sidang utama PTUN, Jalan A Sentra Primer Baru Timur, Jakarta Timur, Kamis (05 /4/18).
Pemerintah digugat HTI karena mencabut status badan hukum perkumpulan HTI dengan surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Nomor AHU-30.AHA.01.08.2017 tentang pencabutan keputusan Menkumham Nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian perkumpulan tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI pada 19 Juli 2017.
Sidang yang dipimpin hakim ketua Tri Cahya Indra Permana dan dua hakim anggota, Nelvy Christin dan Rony Erry Saputro dengan panitera pengganti Kiswono, mendengarkan keterangan dua saksi Ahli yang dihadirkan oleh Kemenkumham. Yaitu ahli sosiologi politik Islam dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dr Zuly Qodir dan ahli pemikiran dan praktek politik Islam Azyumardi Azra. Ahli sosiologi politik Islam dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dr Zuly Qodir mengatakan, bahwa gerakan HTI perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan ormas Islam lainnya di Indonesia. Sebab, menurutnya, HTI tidak ikut menyepakati ideologi Pancasila.
"Makanya HTI mau mengganti Ideologi bangsa ini,” ucap Zuly Qodir dalam sidang menjadi saksi ahli di PTUN.
Ahli sosiologi politik Islam dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menjelaskan, padahal ormas Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah telah memberikan sumbangsih yang penting bagi bangsa Indonesia terkait pandangan hidup berbangsa dan bernegara serta bagi organisasi yang ada di Indonesia. Pemikiran negara Pancasila dijadikan rujukan bagi Muhammadiyah sebagai pedoman hidup yang kontekstual berbangsa dan negara. Sedangkan untuk Negara Kesatuan Republik Idonesia (NKRI) merupakan pandangan hidup dan merupakan anugrah dari tuhan atas pejuangan seluruh elemen rakyat Indonesia.
“Muhammadiyah berpandangan bahwa negara pancasila didirikan diatas Ketuhanan Yang Maha Esa dan atas konsensus nasional,” ungkapnya.
Adapun beberapa cara dakwah HTI juga dianggap sebagai gerakan partai politik dengan cara menggunakan gelombang demonstrasi, serta mempengaruhi pola pikir para masyarakat dan kaum akademik kampus untuk mematangkan strategi gerakan politiknya. Menurut Zuly Qodir, hal itu adalah awal dari tujuan HTI dan setelah mereka kuat akan take off merebut kekuasaan dan keinginan mengganti ideologi bangsa. Bahkan di beberapa negara, HTI keberadaannya sudah dilarangkarena adanya revolusi gerakan di bawah tanah. Alhasil bila ada ada organisasi di negeri ini yang melawan ideologi pancasila. Maka sudah seyogyanya harus diusir dari negara ini. “Sebetulnya HTI harus berterimakasih kepada demokrasi karena dapat hidup berdampingan bersama. HTI menjadi tidak mau berterimakasih karena mereka ingin merebut kekuasaan,
” tuturnya menjelaskan. Sementara itu, salah satu kuasa hukum pemerintah I Made Wirata menyebutkan, bahwa HTI adalah gerakan politik yang ingin merubah idiologi bangsa Indonesia. Dan akan menghancurkan sekat-sekat demokrasi sesuai yang disampaikan saksi Ahli sosiologi politik Islam dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dr Zuly Qodir dalam persidangan. "Ini jelas bahwa Muhammadiyah tidak sepakat dengan apa yang digagas oleh HTI dengan Khilafah yang akan didirikan di negeri ini,” tutupnya.