Jakarta - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan gugatan atas pencabutan badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) selaku penggugat, Kamis, (15/3/2018). Dalam sidang kali ini, selaku tergugat (pemerintah-red) diwakili Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemen-kumham) menghadirkan saksi ahli bidang hukum administrasi negara Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. dan saksi ahli agama dari Nadhatul Ulama Saksi ahli agama KH Ahmad Ishomuddin
Saksi ahli hukum administrasi negara Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. menga-takan, bahwa langkah yang diambil oleh Kemenkumham sudah tepat kunci. Sebab, menurutnya, dalam perkara persidangan HTI ini adalah asas contrarius actus.
“Yang berarti bahwa, ketika suatu badan atau pejabat Negara menerbitkan kepu-tusan dengan sendirinya juga (otomatis), badan/pejabat yang bersangkutan yang berwenang membatalkannya atau mencabutnya kembali keputusan itu,” ujarnya menjelaskan, diruang sidang utama PTUN, Jalan A Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur.
Philipus menambahkan, jadi kalau dalam kasus ini badan hukum HTI yang didaftarkan di Kemenkumham. Maka akan sendirinya pembatalan dan pencabutan dilakukan oleh kemenkumham. “Ini sudah menjadi fakta,” tambahnya lagi.
Philipus juga menjelaskan, sanksi administratif tersebut dapat berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan badan hukum.
Dia melanjutkan, karakter penerapan sanksi administrasi memang berbeda dengan penerapan sanksi pidana. Penerapan sanksi administrasi itu ditujukan untuk per-buatan, sedangkan sanksi pidana ditujukan untuk pelaku.
“Sanksi administrasi tujuannya mengakhiri pelanggaran, maka dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan, dan pihak yang merasa dirugikan boleh menggugat,” ujar Philipus. “Jadi norma hukum ini sudah tepat dan tidak bisa dibantah,” ujar Philipus.
Kemudian syarat paling mendasar pada badan hukum yakni adanya anggaran dasar sesuai dengan peraturan hukum berlaku. Dan sebuah perkumpulan yang terdaftar badan hukumnya tentu harus memenuhi persyaratan berlaku.
Dalam persidangan HTI yang sudah dinyatakan dibubarkan sesuai dengan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Nomor AHU -30.AHA.01.08.2017 tentang pencabutan keputusan Menkumham Nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian perkumpulan.
Tim kuasa hukum Kemenkumham sempat menanyakan kepada Philipus, apakah suatu perkumpulan dapat dicabut badan hukumnya ketika anggaran dasarnya mencantumkan Pancasila. Akan tetapi, dalam praktiknya dan fakta di lapangan cara bedakwah dan kegiatannya bertentangan dengan anggaran dasarnya itu.
Philipus menjawab, itu kembali lagi bahwa negara Indonesia berlandaskan UUD 1945 sebagai dasar tingkah laku masyarakat, baik pribadi maupun badan hukum yang harus sesuai dengan Pancasila.
“Tidak ada yang boleh bertindak berlawanan Pancasila. Maka kalau ada yang ber-seberangan dengan Pancasila, Pemerintah memang harus hadir,” ucapnya.
Lebih lanjut, saksi ahli agama dari Nadhatul Ulama KH Ahmad Ishomuddin men-jelaskan, organisasi Hizbut Tahrir Internasional di beberapa negara menentang pa-ham -paham demokrasi, dikarenakan perundang-undangan menganut paham demokrasi dirancang oleh manusia.
“Paham demokrasi dianggap kafir karena pokok penyusunan perundangan dalam demokrasi disusun bukan oleh Allah,” ucapnya dalam persidangan. “Dalam negara Daulah Islamiyah tidak ada boleh paham selain bersumber dari akidah Islamiyah,” tambahnya.
HTI memandang demokrasi adalah kafir bukan tanpa sebab. Hal itu, menurut KH Ahmad Ishomuddin, berdasarkan buku-buku yang dibacanya bahwa HTI juga bagian Hizbut Tahrir Internasional sebagai partai pembebasan yang ingin kembali menidirikan Daulah Islamiyah.
Sedangkan wujud Indonesia yang sudah terbentuk dalam Negara Kesatuan Repu-bulik Indonesia (NKRI), ia menambahkan, dalam ajaran hukum Islam adalah sah. Hal ini dikarenakan NKRI adalah suatu konsensus nasional bersifat kesepakatan final.
“Sistem negara khilafah dibungkus oleh kegu]iatan dakwah dilakukan HTI adalah bentuk pengkhianatan bagi konsensus nasional,” tutur KH Ahmad Ishomuddin.