Jakarta (30/11) – Koordinator kuasa hukum Tergugat (Kemenkumham) Hafzan Taher pada persidangan hari Kamis (30/11) telah menyerahkan dan membacakan jawaban atas gugatan HTI, yang berisi tentang eksepsi (penolakan/keberatan) dan jawaban terhadap pokok perkara, yakni, tentang kedudukan hukum (legal standing) penggugat.
Kata Hafzan,”Penggugat tidak mempunyai kedudukan hukum dalam mengajukan gugatan sekarang ini, karena Penggugat bukan lagi suatu badan hukum dan oleh karena itu bukan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan tindakan hukum atau perbuatan hukum termasuk dalam mengajukan gugatan ini,” tegas Hafzah.
Selanjutnya, Hafzan menjelaskan hal itu didasarkan kepada beberapa ketentuan. Pertama, Asas Praduga Rechtmatig, yang menyatakan bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 67 UU PTUN dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN dan Penjelasan Pasal 53 ayat (1), yang intinya menyebutkan bahwa hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Putusan TUN dapat mengajukan gugatan ke PTUN.
Sementara Penggugat yang telah secara jelas di dalam gugatannya menyatakan bahwa HTI sebagai prinsipal Penggugat yang nyata-nyata telah dicabut oleh pejabat yang berwenang melalui obyek sengketa dan telah dibubarkan oleh ketentuan Pasal 80 A Perpu Ormas, maka Penggugat tidak lagi memenuhi unsur-unsur sebagai subyek hukum..
Kedua, Penggugat sendiri di dalam gugatannya telah secara nyata mengakui bahwa organisasi Penggugat “telah kehilangan status badan hukumnya.” Hal ini jelas telah menjadi bukti yang sempurna dan tidak terbantahkan lagi bahwa Penggugat sendiri telah mengakui bahwa Penggugat tidak lagi memiliki status badan hukum pasca diterbitkannya obyek sengketa. Kata Hafzan, “Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 100 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan bahwa alat bukti ialah : “…d. keterangan para pihak..” dan Pasal 105 UU PTUN yang menyatakan bahwa “ pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.”
Teguh Samudra, salah satu kuasa hukum tergugat menambahkan, bahwa selain pengakuan yang tertera di dalam gugatan Penggugat, terdapat pula pengakuan Penggugat di dalam forum pengadilan lain yakni di persidangan Mahkamah Konstitusi saat Penggugat mengajukan judicial review Perppu Ormas. Di dalam persidangan tersebut juga menyatakan hal yang sama, bahwa Penggugat telah kehilangan status badan hukumnya akibat dicabutnya status badan hukum Penggugat dan sekaligus dinyatakan bubar oleh Menkumham, bahkan Penggugat telah melakukan satu perbuatan hukum yang nyata-nyata menunjukkkan bahwa Penggugat sadar akan ketiadaan status badan hukumnya setelah terbitnya obyek sengketa, yakni dengan mengubah pemohon di Mahkamah Konstitusi dari Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia menjadi pemohon perorangan warga negara Indonesia yakni Ir, H. Ismail Yusanto, M.M. “Saya kira ini bukti yang sangat sempuna ,” ujar Teguh.
Gugatan HTI terhadap Pemerintah Cq. Kementerian Hukum dan HAM RI, terkait keputusan Pencabutan Status Badan Hujum HTI, merupakan produk Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan manapun untuk memeriksa dan mengadili, berdasarkan ketentuan Pasal 49
UU No. 5 Tahun 1986 yang secara tegas menyatakan bahwa :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan
luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Telah terbukti bahwa Keputusan Menteri Hukum & HAM RI yang mencabut status Badan Hukum HTI merupakan tindakan pemerintah yang sah yang tidak dapat dipisahkan dengan Perpu No. 2 Tahun 2017 yang kemudian telah diterima dan disetujui oleh DPR untuk menjadi UU. Dengan persetujuan DPR RI tersebut maka perdebatan bahwa apakah Perpu No. 2 Tahun 2017 Tentang Ormas diterbitkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa atau dalam keadaan kondisi negara berada dalam ancaman perpecahan, sudah final dan diaminin oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu, di dalam jawaban pokok perkara, Tergugat pada pokoknya menolak seluruh dalil-dalil Penggugat dan menyatakan dengan tegas bahwa justru dalil-dalil Penggugat tidak benar, tidak berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan bukti-bukti yang sah menurut hukum serta hanya persepsi maupun ilusi Penggugat belaka. Kuasa hukum Tergugat lainnya, I Wayan Sudirta menjelaskan bahwa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. AHU-30.AH.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tertanggal 19 Juli 2014, adalah sah dan tidak bertentangan dengan hukum dan telah sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), “Tentu saja sah dan telah sesuai dengan hukum dan AAUPB, karena pertama, ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, Kedua, dibuat sesuai prosedur, dan terakhir, substansi yang sesuai dengan obyek keputusa", Kata Sudirta.
I Wayan Sudirta menjelaskan bahwa telah menjadi fakta Notoir (Notoir Feiten) Penggugat telah mengingkari asas-asas umum yang berlaku untuk ormas yang berpedoman kepada Pancasila dan UUD 1945 di dalam NKRI, yakni Penggugat telah melakukan upaya-upaya terstruktur, sistematis dan masif untuk mengganti Pancasila dengan sistem khilafah yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang Bhinneka Tunggal Ika. Kata Sudirta “Mereka nyata-nyata menyebut dirinya ormas, padahal sejatinya adalah partai politik yang bertujuan merebut kekuasaan. Penggugat juga sama saja dengan organisasi politik Hizbut Tahrir di berbagai negara yang bertujuan membubarkan negara bangsa (nation State) termasuk NKRI untuk kemudian menjadi bagian dari kekhalifahan sesui tujuannya,, bahkan juga penggugat telah menggadopsi, menterjemahkan dan menerbitkan Rancangan UUD Islami ala HTI (AD Dustur Al Islami) yang berlaku juga bagi Hizbut Tahir di berbagai negara, karangan Taqiyudin An-Nabhani.”
Terkait dengan dalil Penggugat bahwa pencabutan status badan hukum Penggugat mengunakan Perpu Ormas yang diberlakukan secara retroaktif atau berlaku surut, I Wayan Sudirta membantah bahwa hal itu tidak benar dan mengada-ada, karena sejatinya Perpu Ormas hanya menambahkan asas contrarius actus yang sebelumnya tidak dianut di dalam ketentuan UU Ormas No. 17 Tahun 2013, sementara Pasal 59 ayat (4) UU Ormas yang menyatakan bahwa : “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” telah mengatur ketentuan demikian, yang dapat diartikan bahwa segala upaya dan tindakan-tindakan yang dilakukan penggugat untuk mengganti Pancasila dengan sistem khilafah sudah pasti bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Ormas tersebut, bahkan jauh sebelum itu, UU Ormas No. 8 tahun 1985 juga telah mencantumkan ketentuan demikian, sebagimana ketentuan Pasal 16 UU Ormas 1985, jadi tidak ada pemberlakuan surut atas pencabutan status badan hukum HTI sebagaimana didalilkan penggugat.. “Harus diingat juga bahwa ketentuan HAM yang dinukil Penggugat sebagaimana Pasal 28I UUD 1945 tidak berlaku mutlak, karena ada pembatasan melalui Ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 Ayat (1) dan (2) yakni demi tertibnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, setiap orang wajib menghrmati Hak Asasi Manusia orang lain, dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang, Jadi tidak bisa juga sewenang-wenang dalam menuntut penikmatan HAM seseorang,” ujar Sudirta.
Sementara itu terkait tuduhan penggugat bahwa Pemerintah telah menghalangi dan menzalimi Penggugat karena telah melarang syiar atau dakwah dan menjalankan syariat Islam dalam kehidupan beragama, bahkan dianggap anti Islam, Kuasa Hukum Pemerintah Ridwan Darmawan menyatakan dengan tegas bahwa hal itu keliru dan sangat subyektif, bahwa yang dilarang dari ormas HTI adalah karena Penggugat menganut dan mengembangkan serta menyebarkan faham khilafah yang jelas-jelas bermaksud untuk mengganti Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945, bukan yang lainya. Kata Ridwan,“Ini penting kami tegaskan, agar masyarakat Indonesia tidak tergiring opini yang sesat dan menyesatkan. Silakan baca Fatwa MUI Pusat Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Ketiga Tahun 1430H/2019 di Padang Panjang Tanggal 24-16 Januari 2009 tentang Masil Asasiyah Wathaniyah (masalah-masalah strategis kebangsaan). Di sana disebutkan bahwa kesepakatan bangsa Indonesia membentuk NKRI berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai Konstitusi mengikat seluruh elemen bangsa, dan oleh karenanya umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa ini harus terus menjaga konsesus nasional tersebut. Jadi jelas ya, MUI sebagai representasi umat Islam memandang penting bahwa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah konsensus seluruh eleven bangsa, tidak terkecuali umat Islam, harus menjaga agar konsesus tersebut tetap hidup dan tidak hilang eksistensinya.”