TANGERANG - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) masih dalam pembahasan antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hingga saat ini, masih banyak pasal yang masih menjadi debatable dan masih belum bisa disetujui kedua pihak. Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP meminta pihak pemerintah untuk menyikapi dan menindaklanjuti beberapa usulan terkait pasal-pasal tersebut. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melakukan sinkronisasi dengan tim perumus.
Acara yang digelar di Sheraton Hotel, Tangerang, Banten pada Kamis (16/11/2017) lalu, dihadiri oleh guru besar dari berbagai peguruan tinggi di Indonesia antara lain Muladi, Nyoman Syarikat dan Barda Nawawi dari Universitas Diponegoro, Andi Hamzah dari Universitas Trisakti, Marcus Priyo Gunarto dari Universitas Gajah Mada, Eddy OS Hiariej dan Romli Atmasasmita dari Universitas Padjajaran, JE Sahetapy dari Universitas Airlangga, Said Karim dari Universitas Hassanudin, Elwi Danil dari Universitas Andalas, Edy Warman dari Universitas Sumatra Utara serta Enny Nurbaningsih Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Enny mengatakan RUU KUHP masih perlu didiskusikan dan perlu mendalami permasalahan-permasalahan sistematik seperti pemidanaan, unsur-unsur delik yang bersifat elementer (unsur-unsur pidana) dan berstandeler (bagian inti dari unsur pidana). Masalah-masalah ini, kata dia, tidak bisa dikerjakan sendiri oleh pemerintah perlu ada masukan dari para pakar hukum. "Berdasarkan masalah tersebut maka Kemenkumham sebagai perwakilan pemerintah dalam pembahasan RUU KUHP menganggap penting untuk mengadakan kegiatan temu pakar hukum pidana untuk mendapatkan masukan dari para ahli atau guru besar hukum pidana," kata dia.
Dia menjelaskan setidaknya sampai saat ini setelah pemerintah melakukan pembahasan dengan DPR ada tiga isu substansi pada RUU KUHP. Pertama, pemberlakuan ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 2 RUU KUHP yang dianggap masih belum jelas dan sulit untuk diterapkan. "Kesulitannya terjadi karena keberadaan dan sifat adat yang hidup dan berkembang pada masyarakat Indonesia beradat. Selain itu dalam pembahasan di Panja, keberadaan ketentuan ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas yang terdapat di pasal 1 RUU KUHP," ujarnya.
Kedua, sambung dia, pengaturan pasal-pasal yg berkaitan dengan tindak pidana khusus dalam RUU KUHP justru dianggap akan memperlemah pengaturan dan penegakan tindak pidana khusus saat di lapangan. "Terakhir dan yang menjadi debatable yakni bagaimana teknis pemidanaan terhadap korporasi yang terbukti bersalah," ungkapnya.
Lebih jauh, Enny menyampaikan dengan adanya sinkronisasi antara pemerintah dan tim perumus bisa menghasilkan UU KUHP yang memiliki keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.