Kewarganegaraan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kewarganegaraan. Undang-Undang Kewarganegaraan lahir pada saat bangsa Indonesia memasuki masa reformasi. Undang-undang kewarganegaraan pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) dan tanpa kewarganegaraan (apatride). Undang-Undang kewarganegaraan selain menganut asas-asas umum kewarganegaraan juga menganut asas khusus antara lain adalah asas perlindungan maksimum, asas non diskriminasi, asas pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Freddy Harris dalam keynote speech acara Seminar Nasional dengan tema “Dwi Kewarganegaraan di Indonesia: Pembangunan Negara dan Keutuhan Sebuah Bangsa” yang di selenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyampaikan pemerintah mengambil kebijaksanaan dalam pemrosesan agenda Dwi Kewarganegaraan ini, karena setelah diamati memang memiliki beberapa persoalan yang cukup serius, di antaranya yang menjadi prioritas utama dan mesti segera diselesaikan yaitu persoalan kasus anak berkewarganegaraan ganda, di mana di luar keinginannya namun harus memilih.
“Undang-Undang Kewarganegaraan pada dasarnya mengatur mengenai 4 hal pokok, yaitu: warga negara Indonesia; Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan RI; Kehilangan Kewarganageraan RI; Memperoleh kembali Kewarganegaraan. Selain itu, Layanan Administrasi Hukum bagi warga negara secara sederhana untuk mengakomodir pembuatan privat antar Warga Negara yang dibuat dalam satu dokumen perikatan, sehingga menjadi dokumen publik,” ungkapnya.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia juga bersifat transisional. Karena sifatnya yang transisional sehingga belum dapat menjawab secara keseluruhan permasalahan kewarganegaraan, walaupun Undang-Undang Kewarganegaraan sudah mengadopsi asas kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak kawin campur atau anak yang lahir dinegara ius soli sampai paling lambat anak tersebut berusia 21 tahun harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya ataupun Undang-Undang kewarganegaraan melarang kewarganegaraan ganda tidak terbatas, sehingga Undang-Undang kewarganegaraan akhir-akhir ini menuai kritik masyarakat karena belum bisa menerima asas kewarganegaraan ganda tidak terbatas.
Prinsip dwi kewarganegaraan dapat diartikan bahwa setiap orang dapat memiliki dua kewarganegaraan yang berbeda pada saat yang bersamaan, atau Dwi Kewarganegaraan terjadi ketika seseorang berstatus kewarganegaraan lebih dari satu pada waktu yang bersamaan. Terdapat tiga faktor atau alasan yang mempengaruhi terjadinya seseorang menjadi dwi kewarganegaraan, yaitu penerapan asas kewarganegaraan yang berbeda, dan perkawinan campuran, dan pewarganegaraan dari negara lain.
Jika pinsip dwi kewarganegaraan diberlakukan di Indonesia maka terdapat kemungkinan eks WNI yang melarikan diri keluar negeri karena melakukan gerakan separatis atau kejahatan lainnya dapat kembali menjadi warga Indonesia tanpa harus melepaskan kewarganegaraan negara asing. Hal ini tentunya akan menciptakan lubang baru bagi pelanggar hukum atau aktivis ilegal untuk menghindar dari penegakan hukum.
Pada dasarnya undang-undang kewarganegaraan dapat diubah kapan waktu sesuai perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Karena sifat dari hukum atau Undang-Undung itu sendiri selalu terbukti tertinggal dari kemajuan masyarakat atau kadang bersifat statis, namun demikian untuk merubah suatu Undang-Undang kewarganegaraan diperulakan suatu kajian hukum dalam bentuk naskah akademik dengan mengkaji dari berbagai aspek lain, seperti pertahanan, keamanan, sosiologi, budaya, serta kesiapan dari para penyelenggara negara. [LKY]