Jakarta – Direktorat Jenderal Adminitrasi Hukum Umum bekerjasama dengan Organisasi Perkawinan Campur Indonesia (PerCa) memperingati Satu Dasawarsa Udang-undang No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Ganda Terbatas bagi anak-anak perkawinan campuran. Acara yang diselenggarakan di Ruang Rapat Ali Said Lantai 18 Gedung Sentra mulia dihadiri oleh Inspektur Jenderal Kemenkumham, Aidir Amin Daud yang mewakili Menteri Hukum dan HAM. Selain itu hadir juga Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Freddy Harris, Sekretaris Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Rinto Hakim, Direktur Tata Negara Tehna Bana Sitepu, Direktur Perdata Daulat P. Silitonga, Ketua pengurus yayasan Diaspora Indonesia, Ketua Keluarga Perkawinan Campur Melati, Ketua Aliansi Pelangi Antar Bangsa dan dari berbagai instansi, akademisi, organisasi, serta media massa, hadir juga sebagai narasumber Satya Arinanto dan Benny K. Harman.
Juliani Luthan selaku Ketua Umum PerCa Indonesia menyampaikan sambutanya dalam perjalanan selama 10 tahun terakhir sudah terdapat ribuan anak hasil perkawinan campur yang bisa menyandang status Dwi Kewarganegaraan. “Secara umum proses mendapatkan status kewarganegaraan berjalan sangat baik diiringi perbaikan yang dilakukan untuk penyempurnaan kewarganegaraan anak hasil PerCa. Namun selain keberhasilan yang dicapai kebijakan tersebut melahirkan tantangan-tantangan baru yang harus dicarikan solusi bersama,” ungkapnya.
Menurut Pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga negaraan dan salah satu pihak berkewarganagaraan Indonesia.
Inspektur Jenderal Kemenkumham, Aidir Amin Daud dalam sambutannya menyampaikan Kewarganegaraan adalah merupakan hak yang esensial atau hak yang sangat mendasar bagi setiap anak yang lahir di muka bumi ini, oleh karena itu kewarganegaraan seorang anak diperoleh sejak anak tersebut lahir, bukan diperoleh dari sejak anak yang bersangkutan sudah menginjak dewasa atau anak tersebut sudah berusia 18 ( delapan belas) tahun. Sebagaimana ditetapkan pada Pasal 28D ayat (4) Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.
“Dengan demikian, kewarganegaraan selain sebagai hak asasi manusia bagi semua orang, hak atas status kewarganegaraan juga menjadi hak konstitusional yang diartikan sebagai hak yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan akibat negara memikul tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi kewarganegaraannya,” ujarnya.
Selain itu Aidir menambahkan Status Kewarganegaraan bagi anak pelaku perkawinan campuran sesungguhnya sudah diatur pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang menetapkan bahwa Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, hurud d, huruf h, huruf l, dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Ketentuan ini memberikan kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak dari pelaku kawin campur, sepanjang anak tersebut telah didaftarkan oleh orang tua/walinya kepada Menteri.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Freddy Harris menyampaikan Problematika kewarganegaraan bagi anak dari pelaku kawin campur, terutama bagi anak yang lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Kewarganegaraan mengingat batas waktu pendaftaran sudah berakhir pada tanggal 01 Agustus 2010, sehingga bagi anak yang tidak didaftarkan kepada Menteri, maka berakibat berkewarganegaraan asing.
“Ada beberapa hal-hal penting yang menjadi catatan kita perihal kewarganegaraan. Banyak pegawai Indonesia walaupun mempunyai jabatan penting, tetapi dalam mengurus visa memerlukan waktu yang sangat panjang. Artinya adalah persoalan negara kita terdapat pada prosedur penanganan vissa. Harus bisa dibedakan antara dwi kewarganegaraan dan kebangsaan,” ungkapnya.
Dalam laporannya Direktur Tata Negara, Tehna Bana Sitepu memaparkan bahwa Pelaku kawin campur sesungguhnya merupakan obyek dan sekaligus sebagai subyek Undang-undang Kewarganegaraan, demikian halnya dengan anak-anak dari pelaku kawin campur. Dikatakan sebagai obyek dan merupakan subyek Undang-undang kewarganegaraan, dikarenakan sebagai akibat perkawinan campuran seorang pelaku kawin campur dapat memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, sebagaimana ditentukan pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Demikian halnya dengan anak pelaku kawin campur dapat berakibat berkewarganegaraan ganda.
Dalam memperingati Satu Dasawarsa Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM menyambut baik dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh jajaran pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, yang telah berupaya menyelenggarakan acara ini, dengan harapan beberapa problematika kewarganegaraan dapat memperoleh titik temu dan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan dwi kewarganegaraan.