Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Hukum dan HAM, Aidir Amin Daud, memberikan arahan pada Forum Group Discussion (FGD) dengan tema “Wacana Perubahan Terhadap UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU pada Jumat (11/3) di Hotel Harris, Bogor, Jawa Barat. FGD Kepailitan Rapat yang digelar selama tiga hari membahas sejumlah isu penting terkait Hukum Kepailitan.
Selama ini berbagai pihak termasuk Kementerian Hukum dan HAM, Praktisi Hukum, akademisi, para profesional, organisasi profesi serta masyarakat pada umumnya menilai UU No. 37/ 2004 tentang Kepailitan sudah tidak sejalan dengan asas-asas Hukum Kepailitan. Selain itu, para pelaku usaha swasta, BUMN atau BUMD sering mengeluhkan tentang keberadaan undang-undang tersebut.
Untuk mendukung program pemerintah dalam rangka doing bussines, starting bussines, dan penyesuaian pemberlakuan MEA dan AFTA perlu dimunculkan gagasan pembaruan peraturan bidang kepailitan dan PKPU. Sementara di sektor implementasi birokrasi pembahasan tentang perubahan undang-undang sejalan dengan Inpres Nomor 2 Tahun 2014, khususnya bab penataan kembali peraturan perundang-undangan. Masukan dari para stakeholder tersebut mendorong pelaksanaan FGD Hukum Kepailitan dengan substansi pembahasan perubahan terhadap UU No. 37/2004 tentang Kepailitan.
Pembahasan terkait wacana perubahan UU No. 37/ 2004 tentang Kepailitan meliputi sejumlah isu penting. Salah satunya tentang kurangnya fungsi pengawasan pelaksanaan tugas kurator sehingga membuat kurator menjadi super power, sulit disentuh oleh hukum. Sehingga perlu pembahasan lebih lanjut terkait integritas kurator, kewenangan tanggungjawab dan imbalan jasa kurator syarat pailit yang dinilai terlalu mudah, serta kurangnya perlindungan terhadap debitor.
Selain itu UU No 37/2004 tentang Kepailitan dianggap mengatur ketentuan tentang likwidasi terlalu dini (premature). Hal-hal demikian tentunya berdampak pada degradasi kepercayaan investor dari dalam dan luar negeri, sehingga program percepatan pemulihan ekonomi menjadi tersendat. Selama ini Mahkamah Agung melalui putusan Kasasi kerap membatalkan putusan pernyataan pailit dengan dasar Pasal 2 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Sebaliknya, ketentuan Pasal 2 yang mengatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit bagi Badan Usaha Milik Negara terdapat ketidaksingkronan dengan UU No 19/ 2003 tentang BUMN. Selain itu, Pasal 2 ayat 3 sampai ayat 5 mengatur kewenangan mengajukan permohonan pailit oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, OJK dan Departemen keuangan yang tidak menjadi kreditur.
Banyak hal terkait wacana perubahan UU No. 37/ 2004 tentang Kepailitan yang dibahas dalam FGD. Misalnya pengaturan tentang tugas dan kewenangan hakim pengawas, tidak dikenal adanya insolvency test, serta praktik prinisip zero hour principle di lapangan. Selanjutnya, penelusuran dan penggalian kelemahan-kelemahan UU no 37 2004 tentang Kepailitan dilakukan dengan lebih baik untuk menjamin asas kepastian hukum, sehingga masyarakat luas bisa memperoleh manfaat secara langsung.