Jakarta - FGD bidang hukum kepailitan yang menurut rencana akan dilaksanakan pada tanggal 10-12 Maret 2016 mendatang mengambil tema wacana Perubahan Terhadap UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Tema ini diambil didasarkan pada beberapa hal yakni implementasi reformasi birokrasi di bidang peraturan perundang undangan yang tertulis dalam Inpres No 2 Tahun 2014 khususnya penataan kembali di bidang peraturan perundang-undangan. Selain itu, kegiatan ini sebagai bentuk dukungan terhadap program pemerintah dalam rangka doing is business dan penyesuaian dengan diberlakukannya MEA dan AFTA.
Menurut Fred BG Tambunan, persiapan atas adanya kegiatan FGD dengan tema ini tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi di masyarakat. Sementara itu, latar belakang lahirnya perubahan besar UU kepailitan Tahun 1960 tidak bisa dilepaskan dari keadaan saat mengalami krisis moneter. Sejak saat itu, banyak kepentingan mulai bermain yakni kepentingan para kreditor. "Hanya bank yang minta supaya UU Kepailitan diubah untuk membela kepentingan kreditor. Hal ini sangat mempengaruhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang bisa mempailitkan seorang debitor," ucapnya.
Sedangkan, ketentuan UU harus ditelaah apakah perlu debitor tersebut dipailitkan atau tidak. "Kita harus benar-benar paham perbedaan hakiki antara dua lembaga. Tujuan dari kepailitan pada hakikatnya adalah likuidasi. Sedangkan sebaliknya, PKPU bermaksud kebalikan dari itu yakni restrukturisasi," lanjutnya. Menghimbau agar jangan terlalu gampang mempailitkan debitor. Jika terjadi kepailitan dan bermuara pada likuidasi, maka karyawan dan buruh akan mendapatkan pesangon dan berujung pemberhentian kerja (PHK).
"Harus ada perubahan, dengan demikian UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ini menjadi bermakna bagi pelaku usaha. Jangan lupa uang yang dipinjam adalah uang bank, selama debitor benar-benar ber etika maka akan diselamatkan," terangnya. Banyaknya keluhan para badan usaha baik swasta maupun BUMN/BUMD menjadi salah satu alasan mengapa tema tersebut diambil. Selain itu juga, pemerintah, praktisi hukum, akademisi, organisasi professional dan masyarakat pada umumnya yang menilai UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU sudah tidak sejalan dengan asas-asas hukum kepailitan. Kegiatan yang menurut rencana akan dilaksanakan di Hotel Harris Sentul ini akan mengangkat beberapa isu diantaranya terkait integritas kurator, kewenangan tanggungjawab dan imbalan jasa kurator.
Sementara itu, menurut Plt. Dirjen AHU, Aidir Amin Daud, banyak oknum yang secara terencana mempailitkan seseorang. Menurutnya, harus ada pengaman yang dibuat dalam UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU "Kita punya tugas untuk memperbaiki UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ini," tegasnya. Kesulitan yang dialami pemerintah dahulu adalah mencari figurator yang baru. Untuk itu, lanjutnya, pihaknya harus mencari mekanisme agar semuanya masuk dalam akal kepatutan. Syarat pailit yang dinilai terlalu mudah dan putusan kasasi MA yang membatalkan putusan pernyataan pailit biasanya berkutat pada syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Kurangnya perlindungan terhadap debitor dan kurangnya fungsi pengawasan atas pelaksanaan tugas kurator juga menjadi isu yang akan dibahas. Kurator seperti super power yang sulit disentuh oleh hukum dengan alasan kewenangan yang dimiliki.
Likuidasi terlalu dini (premature) mendegradasi kepercayaan investor baik dari dalam maupun luar sehingga program percepatan pemulihan ekonomi menjadi tersendat. Hal ini bertolak belakang dengan program layanan kemudahan berusaha yang telah dilakukan. Selain itu, putusan kasasi MA yang membatalkan putusan pailit biasanya hanya berkutat pada syarat-syarat yang terdapat pada pasal 2 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU saja. Prinsip zero hour principle harus disesuaikan dengan realita dilapangan. Kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, OJK dan Kementerian Keuangan yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 3-5 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Kreditur dapat menghambat permohonan.
Selain itu, isu tentang tugas dan kewenangan hakim pengawas akan dibahas. UU Kepailitan di Indonesia menjadi yang terkejam di dunia dan lebih kejam dari Peraturan Luar Negeri No. 1 Tahun 1998. Mengapa kepailitan harus diberlakukan, menurut Richardo Simanjutak, SH., LLM, kepailitan dibutuhkan sebagai suatu alat untuk menyelesaikan ketidakpastian dalam proses aktivitas bisnis. "Kita mencoba meyakinkan dunia jika kita berada di aktivitas bisnis yang baik. SDM yang terbatas dan keterbatasan hakim niaga yang memiliki pengalaman lebih dari 6 tahun membuat pasal ini kelihatan mudah. "UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ini dirusak dengan konsistensi kita, ditambah dengan sistem yang tidak transparan. Ini bukan kesalahan UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tapi kesalahan pelaksana," tuturnya.
Richardo memaparkan mengapa UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut harus diubah, salah satu faktornya adalah UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut menyimpan banyak kelemahan. Dalam prakteknya, banyak perkembangan yang harus disesuaikan dengan kesempurnaan UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut (LK)