Padang, 10-13 September 2015. Konfrensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-2, di Convention Hall, Universitas Andalas Padang. Seminar di hadiri oleh Menteri Hukum dan HAM RI, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH, Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, SH, Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH, Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, Dr. Suparman Marzuki, SH., MH, Bivitri Susanti, SH., LLM, Dr. Aziz Syamsudin, SH, Prof. Dr. Saldi Isra, SH, Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, Susi Dwi Hardjanti, SH., LLM, Ph.D, serta para akademisi dari perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Keynote Speech I, disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dengan Tema Problema Hukum dan Etika Ketatanegaraan Proses Seleksi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Keynote Speech II, disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan Tema Menata Proses Seleksi Pimpinan Lembaga Independen Untuk Mewujudkan Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian.
Dalam Keynote Speechnya Menteri Hukum dan HAM menyampaikan, mendapat kesempatan hadir ditengah para akademisi peserta Konfrensi Nasional Hukum Tata Negara ke-2, memberikan kontribusi yang signifikan bagi perbaikan penyelenggaran kehidupan ketatanegaraan kita. Salah satu kenyataan yang sangat penting setelah perubahan UUD 1945 adalah hadirnya lembaga-lembaga negara yang berbentuk komisi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan UUD, UU, bahkan ada yang dibentuk dengan hanya Keputusan/Peraturan Presiden.
Pada akhirnya lembaga negara penunjang tersebut, telah mendominasi proses pembangunan hukum (legal development) di Indonesia. Sebagaian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama, lembaga negara penunjang, lembaga negara melayani, lembaga negara independen dan lembaga negara mandiri.
Komisi-komisi negara pada waktu itu diyakini memiliki kemampuan menangani masalah-masalah khusus sesuai dengan spesifikasinya. Layaknya tubuh manusia, penambahan organ tubuh diyakini dapat mempercepat pelaksanaan tugas-tugas guna pencapaian tujuan. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, negara ini mengalami kaya struktur tapi minim fungsi. Tidak adanya perencanaan yang matang dalam pembentukan komisi negara mengakibatkan terjadinya tumpang tindih. Kewenangan dan banyaknya komisi yang tidak berjalan maksimal. Pada akhirnya membebani keuangan negara serta mencerminkan buruknya birokrasi. Hal ini disebabkan tidak adanya desain hukum yang jelas dan tepat dalam pembentukan komisi-komisi negara.
Keputusan pembubaran ke 10 lembaga pada dasarnya merupakan implementasi salah satu dari sembilan agenda perubahan (Nawacita) untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkrepibadian yang diusung oleh Presiden Joko Widodo yaitu membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dilakukan salah satunya dengan cara konsisten menjalankan agenda Reformasi Birokrasi secara berkelanjutan dengan restrukrisasi kelembagaan, parbaikan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kompetensi aparatur, memperkuat monitoring dan supervisi atas kinerja pelayana publik.
Komisi eksekutif yang merupakan organ kekuasaan eksekutif seyogyanya dibentuk dengan peraturan presiden. Komisi independen seyogyanya dibentuk dengan undang-undang. Komisi independen menjadi organ konstitusi (costitutional organs) yang berarti eksistensinya dan fungsinya diatur dalam konstitusi yang meliputi kewenangan, tugas, keanggotaan dan hubungan kerja dengan lembaga lain. Perlu pendalaman lebih lanjut dan pada akhirnya perlu mendapatkan kesempatan bersama dari para pengubah UUD yaitu anggota DPR.