TANGERANG - Sebagai hak istimewa, Presiden harus hati-hati menggunakannya. Mengacu Pasal 14 UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Langkah seperti grasi, amnesti, dan abolisi merupakan langkah hukum baik yang diajukan atau tidak diajukan. Menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002 grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Sedangkan untuk rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, dilakukan pemulihan dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, dan dikembalikan kepada kedudukannya.
"Dengan kata lain, seseorang yang mendapatkan grasi dari presiden ialah orang yang bersalah namun memohon pengampunan kepada kepala negara." Ucap Yunus Affan Direktur Pidana saat membuka kegiatan di Hotel JHL Solitaire Gading Serpong, (28/07/2020).
Dia menambahkan tindak pidana atau kesahalahan orang itu tidak hilang tetapi pelaksanaan pidana seperti hukuman penjaranya saja yang diampuni. "Grasi haruslah dimohonkan seseorang atau terpidana kepada presiden." Ungkapnya
Aturan tentang hak prerogatif bidang grasi sambungnya, telah diatur dalam Undang-Undang, namun hak prerogatif di bidang grasi tidak cukup hanya memberikan nilai keadilan dalam pelaksanaannya saja. Hal tersebut tercermin dalam kebijakan pemberian pertimbangan hukum di bidang grasi terhadap narapidana kasus korupsi, narkoba, terorisme yang telah berusia lanjut dan dalam kondisi sakit berat tidak dapat diberikan grasi berupa pengurangan, penghapusan sisa masa tahanan.
Amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Amnesti juga bisa diberikan presiden kepada seseorang tanpa harus pengajuan terlebih dahulu.
"Kajian yang komprehensif tentang grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi ini merupakan hal yang sangat penting dan mendesak." Jelasnya.
Hak prerogatif presiden berpotensi untuk dijadikan sebagai sarana pemecahan permasalahan keadilan di Indonesia. Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, pelaksanaan criminal justice system di Indonesia cenderung berdasarkan pada hukum tertulis belaka.
"Dalam memproses suatu dugaan tindak pidana, penyidik kepolisian dan jaksa hanya terpaku pada ketentuan undang-undang." Tutupnya.