JAKARTA - Kuasa hukum pemerintah Hafzan Taher mempertanyakan keputusan hakim yang memberikan kesempatan bagi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk menyampaikan replik principal pada saat persidangan.
Menurut dia, replik principal yang disampaikan pihak HTI tidaklah lazim karena replik sudah disampaikan kuass hukum HTI.
"Replik principal tidak lazim dalam acara di PTUN dan baru dirasakan ini. Jadi saat ini ada 2 replik yakni dari kuasa hukum dan principal sendiri," kata Taher, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Cakung, Jakarta Timur, Kamis (14/12/2017).
Selain itu, Taher menganggap replik principal yang disampaikan tidak sesuai dengan isi gugatan yang diajukan HTI yakni mengenai surat keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan pengesahan pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI tertanggal 19 Juli 2017 sudah dikeluarkan.
"Itu tidak lazim, namun isi replik principal sesuatu yang tidak ada dalam gugatan, sehingga ada isu baru dan bukan isu administrasi yang sekarang ini disengketakan," jelasnya.
Pada persidangan sebelumnya ketua majelis hakim, Tri Cahya Indra mengabulkan permintaan pihak HTI untuk membacakan replik principal. Hakim pun juga mempersilahkan kepada pemerintah menyampaikan duplik principal pada saatnya nanti.
Mengenai duplik principal, Taher mengatakan pihaknya tidak akan menyampaikannya. Duplik hanya akan datang dari kuasa hukum pemerintah.
"Kami menyampaikan duplik kuasa hukum bukan dari pemerintah. Nah enggak ada hukumnya enggak ada acaranya, sekarang kita berbicara hukum administrasi bukan retrorika atau pidato perjuangan. Bukan itu hukumnya," ungkapnya.
Pada persidangan yang beragendakan pembacaan replik principal dari HTI, sempat diwarnai putusan sela terkait pengajuan intervensi oleh pemerintah untuk memperkuat SK Menkumham Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan pengesahan pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI tertanggal 19 Juli 2017 sudah dikeluarkan. Intervensi ini berasal dari Dokter Pancasila, Rumah Perjuangan Kita dan Komunitas NU.
Majelis hakim sendiri menolak intervensi dari ketiga organisasi massa (ormas) tersebut. Hakim beralasan hal ini tidak sesuai dengan sengketa yang sedang disidangkan.
Menanggapi hal ini, kuasa hukum pemerintah Wayan Sudirta mengatakan pihaknya mengaku kaget dengan putusan majelis hakim tersebut. Hal ini didasari ketika pihaknya belum memberikan tangapan sudah ada putusan yang diberikan.
"Ini catatan penting apakah ada ketakutan di majelis sehingga tergesa-gesa melakukan putusan sela menyenangkan pihak tertentu tadi saya minta dicatat nanti MA akan memeriksa catatan itu apakah bisa objektif buat putusan akhir," ujarnya.
Selain itu, dia mengungkapkan SK Menkumham Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan pengesahan pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI tertanggal 19 Juli 2017 sudah dikeluarkan terjadi dalam keadaan darurat yang diatur pada pasal 44 Undang-Undang No 5 Tahun 1986.
"Ada ratusan sekitar 200 kegiatan HTI bertentangan Pancasila dan NKRI. Kemudian puluhan ormas selalu menghadang berbagai kegiatan HTI dan puluhan ormas dan parpol ingin HTI dibubarkan," tuturnya.
Lebih jauh, Wayan menambahkan Hakim tidak mempertimbangkan empat inti permohonan pemohon intervensi yang intinya agar terminologi kafir tidak lagi diucapkan dan terminologi Khilafah akan mengganti Pancasila dan NKRI.
"Ini keberatan yang luar biasa. Jika Pancasila diganti, negeri ini tidak menjadi NKRI, jika tidak ada Pancasila, tidak ada perekat bangsa ini. Kami sepakat dengan Pemohon intervensi," tutupnya