Jakarta, 12 Agustus 2015 - Plt. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Aidir Amin Daud memberikan pemaparan dengan tema "Urgensi Dwi Kewarganegaraan Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan" dalam memenuhi undangan Kongres Ke-III Diaspora Indonesia The 3Th Congress Of Indonesian Diaspora bertempat di Bidakara Convention Center Jakarta yang berlangsung pada tanggal 12 – 14 Agustus 2015.
Sampai saat ini sebetulnya masyarakat belum memperoleh kejelasan tentang siapa saja yang termasuk dalam kategori Diaspora. Diaspora sering diartikan sebagai bangsa atau etnis yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air tradisionalnya ke berbagai bagian lain dunia. Selain itu, secara sederhana Diaspora juga dapat diartikan sebagai pergerakan suatu populasi tertentu dari tanah air asalnya (The Movement Of The Population From Its Original Homeland). Menurut Dino Patti Djalal, Diaspora Indonesia diartikan luas yaitu mencakup setiap orang Indonesia yang berada diluar negeri, baik yang berdarah maupun yang berjiwa Indonesia, apapun status hukum, bidang pekerjaan, latar belakang etnis dan kesukuannya dan tidak membedakan antara pribumi maupun non pribumi. Melihat dari definisi tersebut terlihat bahwa Diaspora pada dasarnya adalah masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri dan yang terutama dan terpenting adalah memiliki ikatan kepadulian pada negara Republik Indonesia.
Diaspora bukanlah sebuah terminilogi hukum dalam konteks hukum positif Indonesia, oleh karena itu diaspora tidak diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hukum, terminilogi yang dikenal adalah earga negara (citizen) dan penduduk (resident), yang diatur dalam Undang-Undangan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013. Sedangkan kewarganegaraan sendiri dapat diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan warga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undangan Nomor 13 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang lahir dimasa orde reformasi merupakan perkembangan hukum dibidang ketatanegaraan dan sekaligus menghapuskan diskriminasi kewarganegaraan, sehingga berdasarkan undang-undang ini tidak terdapat lagi warga negara Indonesia dan warga negara asing, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menetapkan bahwa "Yang menjadi warga negara indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan menurut undang-undang sebagai warga negara". Menurut penjelasan pasal yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
Bahwa UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI menentukan bahwa salah satu asas yang dianut adalah asas perlindungan maksimum yang berarti adalah asas menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan apapun baik didalam maupun diluar negeri. Dengan asas tersebut, memang sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan upaya-upaya semaksimal mungkin dalam hal melakukan perlindungan terhadap WNI yang sedang bermigrasi ke negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu juuga menganut asas yang menjamin pemenuhan HAM dan persamaan antar warga negara, sebagai bagian dari masyarakat global. UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, merupakan perubahan atas UU Nomor 62 Tahunh 1958 merupakan penggantian atas UU Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. Sebagai undang-undang pertama produk Indonesia setelah merdeka, tentu undang-undang ini sangat ini sangat tidak komprehensif dalam mengatur persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kewarganegaraan.
Dari catatan sejarah itu dapat disimpulkan bahwa politik hukum kewarganegaraan Indonesia telah mengalami progres yang sangat signifikan dari yang semula kurang berwawasan HAM dan gender menjadi sangat menghargai HAM dan gender. Pemerintah akan terus mengupayakan agar hukum kewarganegaraan Indonesia selalu sesuai dengan semangat zaman seiring dengan perubahan pada tingkat global.
Memang sampai dengan saat ini, UU No. 12 Tahun 2006, hanya mengenal kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak sampai dengan usia 18 tahun atau sudah kawin, yang diberlakukan bagi anak hasil kawin campur antara WNI dengan WNA atau sebaliknya. Dan juga bgi anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya WNI di negara yang menganut asas ius soli, sehingga secara yuridis-normatif penerapan dwi-kewarganegaraan akan terkendala dengan ketentuan tersebut. Meskipun demikian, untuk saat ini pemerintah sudah seharusnya menaruh perhatian terhadap persoalan ini, sehingga bukan tidak mungkin akan diadakan kebijakan-kebijakan tertentu semacam ini sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Di beberapa negara, asas dual citizenship atau dual nationality (kewarganegaraan ganda) dianut dengan berbagai macam varian dari bentuknya sebagaimana dipraktikan di Amerika Serikat, Austarlia dan Kanada. Dengan demikian, gagasan mengenai kewarganegaraan ganda tak terbatas bukan hal yang aneh dalam praktik hukum kewarganegaraan di negara lain. Apaliga jika hal ini dikaitan dengan adanya beberapa keuntungan apabila dual citizenship atau dual nationality dianut dalam sebuah negara. Secara teoritis, dua citizenship atau dua nationality memiliki beberapa manfaat (advantages) yaitu :
- Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (employment opportunities);
- Hak untuk mendapatkan program-program sosial bseperti pendidikan, kesehatan dan pensiun (entitlemnet to social programs, such as education, health care, and pensions);
- Kepemilikan properti (property ownership);
- Waktu tinggal yang tak terbatas di negara tertentu (unrestricted residency); dan
- Rasa memiliki melalui hubungan pribadi terhadap lebih dari satu negara (a sense of belonging throught personal ties to more than one country).
Dengan adanya praktik dual citizenship atau dual nationality dalam hukum kewarganegaraan dan keuntungan-keuntuangan yang telah didapat oleh beberapa negara tersebut, gagasan mengenai "dwi-kewarganegaraan tak terbatas" layak dipertimbangkan untuk diberlakukan di Indonesia di masa yang akan datang. Tentunya setelah dilakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam, oleh karena itu gagasan mengenai kewarganegaraan ganda tak terbatas bukanlah mengada-ada, melainkan merupakan gagasan yang sangat kompatibel dengan tuntutan global dimana mobilitas orang dari satu negara ke negara lain semakin tanpa batas ditambah adanya beberapa keuntungangan sebagaimana telah disebutkan di atas.
Di masa yang akan datang, kemungkinan diperlukan adanya undang-undangan kewarganegaraan yang lebih progresif dalam menangkap denyut perubahan global. Adanya perubahan undang-undangan ini tentu harus didahului oleh adanya naskah akademik yang merupakan naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai peraturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Naskah akademik tersebut disiapkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan dan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Selanjutnya setelah rancangan undang-undangan telah siap, diusulkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undang-undangan yang disusun secara ternecana, terpadu dan sistematis.
Penerapan Dwi-Kewarganegaraan dalam peraturan perundang-undangan, memerlukan pengkajian terlebih dahulu dari berbagai aspek tidak hanya aspek ekonomi semata, melainkan juga aspek sosial, politik, budaya, pertahanan dan keamanan negara serta kesiapan dari penyelenggara negara sendiri. (noe)