Medan - Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) kunjungi Universitas Sumatera Utara (USU) untuk diskusikan penguatan peyusunan peraturan perundang-undangan bersama akademisi hukum USU.
Diskusi yang diikuti oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan dan Analis Hukum tersebut dilaksanakan dalam rangka berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyebabkan adanya perubahan metode dalam pembentukan naskah akademik.
“Lahirnya UU ini mengakibatkan peraturan perundang-undangan yang disusun pemerintah memerlukan penyesuaian agar dapat memenuhi ketentuan yang diatur di dalamnya,” ujar Titik Susiawati, Kepala Bagian Program dan Pelaporan Ditjen AHU dalam kegiatan diskusi di Medan (29/09/2022).
Dirinya menambahkan bahwa perubahan ini juga berakibat pada peraturan yang sedang disusun pemerintah, termasuk yang sedang dipersiapkan oleh Ditjen AHU, terjadi diskursus karena adanya perbedaan penafsiran. Terlebih lagi Ditjen AHU merupakan pihak yang bertanggung jawab sebagai pemrakarsa dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2020-2024.
Sementara itu, Faisal, Dosen Hukum Tata Negara USU dalam diskusi tersebut menjelaskan bahwa dengan berlakunya UU tersebut, maka terjadi perubahan metode dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yaitu dengan metode Rule, Opportunity, Communication, Interest, Process and Ideology (ROCCIPI) dan metode Regulatory Impact Assesment (RIA).
ROCCIPI merupakan alat ukur untuk mengidentifikasi masalah sosial yang muncul akibat pemberlakuan peraturan. Sedangkan RIA adalah metode yang digunakan untuk menilai dampak regulasi yang digunakan untuk menguji dan mengukur kemungkinan manfaat serta efek dari peraturan baru maupun yang sudah ada.
Lebih lanjut, Faisal juga menambahkan bahwa saat ini dalam penyusunan peraturan perundang-undangan juga memerlukan partisipasi masyarakat agar proses pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi ideal.
“Meskipun disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebelum menjadi UU maka diperlukan adanya partisipasi dari masyarakat baik dalam penyusunan hingga terbentuk menjadi sebuah peraturan perundang-undangan,” tutur Fajar.
[NSA]