Jakarta - Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Cahyo R.Muzhar, menyampaikan pentingnya peranan perjanjian internasional dalam penanganan tindak pidana lintas batas negara, saat Diskusi Ngobrol Bareng Otoritas Pusat dan Hukum Internasional/OPHI “NGOPHI” dengan tema “Selangkah Menuju Perundingan Perjanjian MLA antara Indonesia dan Amerika Serikat serta Diseminasi Layanan Apostille” di Swissotel Jakarta PIK Avenue, 13 September 2022.
“Hingga saat ini Indonesia telah memiliki 11 (sebelas) perjanjian internasional di bidang Mutual Legal Assistance/MLA, 10 (sepuluh) di antaranya merupakan perjanjian bilateral dan 1 (satu) di antaranya merupakan perjanjian regional (ASEAN Mutual Legal Assistance Treaty),” lanjut Cahyo. Terbaru, Indonesia telah membentuk perjanjian bilateral dengan Swiss dan Rusia yang masing-masing telah disahkan dengan UU Nomor 5 Tahun 2020 dan UU Nomor 5 Tahun 2021.
Cahyo menegaskan, selain 11 perjanjian tersebut, Indonesia juga perlu membentuk perjanjian bilateral, regional, maupun multilateral lainnya dengan sejumlah negara, terutama negara-negara strategis seperti Amerika Serikat. Pasalnya, Hasil National Risk Assessment (NRA) on Money Laundering Tahun 2021 yang dirilis oleh PPATK memperlihatkan bahwa Amerika Serikat merupakan salah satu negara tujuan TPPU yang berisiko tinggi pada klaster laundering offshore (LO)/foreign risk, dengan tindak pidana asalnya (predicate crime) terjadi di Indonesia dan tindak pidana pencucian uangnya terjadi di luar negeri.
“Saat ini masih ada yang menjadi isu dalam pembentukan perjanjian MLA Indonesia-Amerika Serikat yakni terkait bantuan hukum untuk memperoleh keterangan saksi,” lanjut Cahyo. Di mana pada UU MLA, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU MLA menggariskan bahwa orang yang terkait dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak dapat dipaksa untuk memberikan keterangan/kesaksian baik di Indonesia maupun di negara peminta. Berbeda halnya dengan KUHAP dan undang-undang sektoral/khusus lainnya yang mengatur bahwa pengambilan keterangan saksi dapat dilakukan secara paksa.
“Diskusi NGOPHI kali inibermaksud untuk memperoleh pandangan dan meyakini bahwa hukum acara dalam KUHAP dan perjanjian bilateral yang telah diratifikasi dapat diterapkan untuk memanggil saksi secara paksa,” ujar Cahyo.
Dalam rangka optimalisasi penanganan permintaan MLA, acara kali ini juga sekaligus untuk memberikan akses aplikasi AHU-OP kepada kementerian dan lembaga yang terkait dalam proses penanganan permintaan MLA, dalam hal ini Polri, Kejaksaan, KPK, dan Kementerian Luar Negeri RI. Dengan aplikasi ini, kementerian dan lembaga dimaksud akan memperoleh kemudahan untuk pengarsipan dan pendokumentasian dokumen pendukung dalam penanganan MLA secara terintegrasi.
Dalam sesi kedua NGOPHI kali ini juga disampaikan pentingnya peningkatan kualitas layanan publik dalam bentuk penyederhanaan birokrasi, salah satunya melalui Layanan Apostille yang mulai berlaku pada tanggal 4 Juni 2022.
“Dengan Layanan Apostille, legalisasi dokumen yang sebelumnya perlu melalui berbagai tahap panjang, kini cukup satu langkah melalui penerbitan Sertifikat Apostille oleh Kemenkumham yang menjadi Competent Authority,” ujar Cahyo. Sertifikat Apostille yang diterbitkan dapat digunakan di 122 Negara Anggota Konvensi Apostille yang juga semakin bertambah, dengan Arab Saudi, Senegal, dan Pakistan yang akan mulai berlaku pada beberapa bulan mendatang.
“Dengan Layanan Apostille, lalu lintas dokumen menjadi semakin cepat sehingga dapat mendukung masyarakat yang semakin terhubung dalam era globalisasi,” tutup Cahyo.