
Jakarta - Salah satu bentuk penjaminan yang sudah lama dikenal dalam proses hukum baik secara nasional maupun internasional adalah jaminan fidusia. Di Indonesia jaminan fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia. Namun, dalam mendorong reformasi perbaikan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business / EoDB), dimana tahun 2021 ini Indonesia masih berada di peringkat 73 dunia.
“Berbagai aturan hukum (regulasi) terus dilakukan upaya pembaharuan dengan memperhatikan setiap kebutuhan yang berkembang di tengah masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholder) di dalam pemanfaatan layanan jaminan fidusia secara online”, kata Sekretaris Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Sesditjen AHU) Mohamad Aliamsyah saat membuka webinar jaminan fidusia periode I tentang pemanfaatan data jaminan fidusia sebagai langkah pencegahan penjaminan ulang kepada Usaha Mikro Kecil (UMK), Lembaga Keuangan dan Masyarakat (LKM) di Gedung Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), (24/06/2021).
Dia juga berharap webinar dengan tema “kewajiban pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia" sebagai asas publisitas dan manfaatnya bagi para pelaku usaha di Indonesia ini dapat memberikan pemahaman, informasi dan pandangan kepada setiap masyarakat, sekaligus mengetahui tentang mekanisme pengaturan penerapan pola pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkaitan dengan pemberian penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) hingga pencabutan ijin usaha pada setiap industri perbankan dan industri keuangan non bank (pembiayaan) di Indonesia.
“Dalam hal mekanisme pemberian kredit kepada setiap debitur (pemberi fidusia) dan juga kewajiban pendaftaran jaminan fidusia yang harus dilakukan sampai dengan pemberitahuan penghapusan jaminan fidusia kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, ujarnya.
“Kewajiban pembuatan akta jaminan fidusia atas benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dan juga ketentuan mengenai kuasa yang diberikan oleh kreditur/penerima fidusia untuk mendaftarkan jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia”, tambahnya.
“Agar dapat diketahui bahwa layanan aplikasi permohonan pencarian dan unduh data jaminan fidusia adalah sebagai langkah pencegahan penjaminan ulang kepada setiap pelaku usaha dalam mendaftarkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia apakah statusnya terdaftar atau tidak terdaftar pada pangkalan data Ditjen AHU”, ungkapnya.
Sejalan dengan itu, Iwan Supriadi Kepala Sub. Direktorat Jaminan Fidusia juga menjelaskan kepada 1000 orang peserta kegiatan webinar tersebut bahwa kegiatan ini untuk meningkatkan pemahaman masyarakat khususnya para pelaku usaha, dan lembaga finansial/keuangan baik lembaga pembiayaan dan industri perbankan mengenai pemanfaatan sistem aplikasi yang telah dibangun oleh Ditjen AHU mengenai layanan permohonan pencarian dan unduh data jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2020 tentang tata cara permohonan data jaminan fidusia.
Diskusi yang dimoderatori oleh Daniel Constantyn Adam selaku Wakil Ketua Komite Hukum dan Perlindungan Konsumen Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) dan turut dihadiri Direktur Pengawas Lembaga Pembiayaan, Y. Dapot Togarasi Sidabutar dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ketua Umum (APPI) Suwandi Wiratno, dan Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI), Taufik sebagai narasumber yang masing-masing menjelaskan uraian fungsi dan peran institusi dan organisasi serta saran dan harapannya dalam rangka memberikan kepastian hukum setelah didaftarkannya objek jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia secara elektronik sampai dengan diterbitkannya sertifikat jaminan fidusia.