
JAKARTA – Hukum pidana nasional yang berlaku saat ini merupakan peninggalan kolonial yang sudah berlaku di Indonesia lebih dari 100 tahun sejak 1918. Untuk itu pembaharuan terhadap hukum pidana Indonesia sudah sepatutnya untuk dilakukan, dan pembaharuan tersebut telah diwujudkan melalui pembentukan Rancangan Undang Undang Kitab Undang- undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sudah dibahas lebih 50 tahun oleh para pakar hukum pidana Indonesia.
Dan dalam rangka membahas dan memberikan pemahaman secara utuh kepada seluruh elemen masyarakat, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyelenggarakan kegiatan Diskusi Publik Pembahasan RUU KUHP dimana kegiatan diskusi publik ini sebelumnya telah dilaksanakan secara langsung di 11 kota besar di Indonesia.
Pada acara yang dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan hukum itu adalah resultante atau hasil kesepakatan dari berbagai stakeholder yang tentu berbeda-beda.
“Orang berbeda pendapat, berdebat lalu diambil keputusan yang dianggap sebagai mewakili kepentingan bersama yang berbeda-beda disebut resultante” kata Mahfud dalam sambutannya pada Diskusi Publik RUU KUHP di Jakarta (14/06/21).
Mahfud menganggap itu hal yang wajar jika resultante diputuskan bersama akan terjadi perdebatan panjang.
“Dalam konteks KUHP ini kita sedang mengusahakan resultante yang demokratis. Dimana semua didengar, tetapi begini keputusan tetap harus diambil. Mau mencari resultante 270 juta orang Indonesia, kesepakatan seluruhnya itu hampir tidak mungkin” ujarnya.
Mahfud menjelaskan, dalam RUU KUHP ini pemerintah akan mengedepankan sistem demokrasi, bukan oligarki apalagi hegemoni.
"Oleh sebab itu, keputusan harus diambil pada akhirnya melalui due procces, proses yang benar, proses pengambilan keputusan yang konstitusional” tuturnya.
Lebih jauh Mahfud menjelaskan perdebatan itu tidak dapat dihindari akibat dari beberapa hal, antara lain adanya kemajemukan bangsa Indonesia, serta adanya pertentangan dari pihak universalisme dan partikularisme.
"Kemajemukan Indonesia berbeda-beda, ada 19 lingkungan hukum adat. Yang satu mengatakan hukum pidana harus universal, tapi ada yang bilang hukum itu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena hukum melayani masyarakat” terangnya.
Mahfud mengatakan, dari pemikiran yang berbeda-beda tersebut harus tetap diambil sebuah keputusan yang harus mewakili kepentingan bersama termasuk dalam pembahasan RUU KUHP.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej yang didampingi Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Cahyo R Muzhar mengatakan hukum di Indonesia tidak bisa kemudian disamakan dengan hukum di negara lain. Sebab revisi saat ini dilakukan untuk mewujudkan KUHP yang multikultural, multireligi, dan multietnis.
Dia menyebut pemerintah harus tetap berkoordinasi dan berkomunikasi dengan berbagai pihak agar RUU KUHP tetap pada tujuan pembaharuan hukum pidana.
"Pemerintah harus tetap berkoordinasi dan berkomunikasi dengan kementerian, lembaga organisasi masyarakat, organisasi profesi, praktisi, akademisi, dan pakar sesuai bidang keahliannya untuk terus menyempurnakan RUU KUHP supaya tetap dengan kaidah hukum, asas hukum pidana, prinsip, dan tujuan pembaharuan hukum pidana” pungkasnya.