
YOGYAKARTA - Pemerintah pastikan ruang diskusi dan masukan publik tetap terbuka dalam upaya kajian terhadap Keberadaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menjadi salah satu anggota tim kajian yang memiliki tugas merumuskan kriteria implementatif atas pasal tertentu dalam UU ITE yang dianggap menimbulkan multitafsir dan melakukan telaahan untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan revisi terhadap UU ITE. Ini merupakan kota ke empat dari rangkaian kegiatan diskusi publik yang sebelumnya diadakan di kota Medan, Semarang dan Bali.
Diskusi yang bertema Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE dalam Perspektif Ius Constituendum dan Ius Constitutum, dalam diskusi ini dihadirkan berbagai narasumber yang ahli di bidangnya yang turut memberikan saran dan masukan dalam diskusi kali ini, di antaranya Bagir Manan, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Muzakkir, hingga Dosen Universitas Jember Bayu Dwi Anggono.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej yang membuka Diskusi Publik Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatakan, kajian ini akan mempertemukan apa yang di inginkan oleh masyarakat soal pencemaran nama baik dan penghinaan menurut KUHP. Menurutnya, diskusi publik ini merupakan bagian dari usaha memperoleh masukan dari pakar, praktisi, atau masyarakat terkait berbagai hal dalam penerapan atau pemberlakuan UU ITE.
"Sumbangsih pemikiran yang dihasilkan sangat berguna bagi pengayaan dan/atau penguatan hasil kajian terhadap UU ITE ini" kata Eddy di Yogyakarta, Kamis (18/03/21).
Eddy mengatakan pembahasan UU ITE menjadi mutlak diperlukan untuk menjadi dasar pemanfaatan Teknologi Informasi sekaligus sebagai payung hukum mengatasi berbagai tindakan melawan hukum serta pelanggaran-pelanggaran tindak pidana teknologi informasi (Cyber Crime).
Eddy menambahkan diskusi ini merupakan tindaklanjut atas arahan Presiden Joko Widodo yang meminta untuk secepatnya dilakukan pembahasan dan kajian terhadap UU ITE.
"Atas arahan Presiden tersebut, Kemenkumham telah menindaklanjuti dengan menyelenggarakan Diskusi Publik dan Sosialisasi RUU KUHP dengan mengangkat isu krusial yang sedang hangat di masyarakat yakni terkait pasal-pasal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik menurut KUHP, UU ITE, dan pengaturannya dalam RUU KUHP" tambahnya.
Lanjut Eddy, UU ITE harus dapat melindungi berbagai kepentingan hukum untuk melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan kepentingan hukum untuk melindungi kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagai hak yang bersifat hak konstitusional (Constitutional Rights) warga negara sebagaimana ditentukan Pasal 28F UUD NRI 1945, dan hak dasar basic rights akan perlindungan terhadap harkat, martabat, dan nama baik orang lain yang dilindungi berdasarkan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945.
"Kepentingan hukum tersebut haruslah tunduk pada pengaturan dan pembatasan oleh hukum karena setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya dan dalam pelaksanaan hak dan kekuasaannya setiap orang hanya dapat dibatasi oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak atas hak dan kebebasan orang lain sebagaimana ditentukan Pasal 28J UUD NRI 1945" pungkasnya.