Pemerintah membuka kembali Diskusi Publik Penyusunan Rancangan Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sebagai upaya untuk mendapatkan masukan dari para pakar hukum untuk mendorong akses terhadap keadilan dalam upaya memperbaiki sistem peradilan di Indonesia. Diskusi Publik ini sekaligus untuk menyosialisasikan secara luas pentingnya revisi KUHP yang mengedepankan prinsip restorative justice. Hal tersebut disampaikan Benny Riyanto saat memberi sambutan pada Diskusi Publik Penyusunan RUU KUHP di Medan, Selasa (23/2/2021).
Benny menambahkan Diskusi Publik ini dilaksanakan agar publik mendapatkan informasi yang utuh dan benar soal revisi KUHP ini dan tidak disinformasi di tengah masyarakat. Benny menambahkan para pakar hukum dan narasumber yang dihadirkan dalam acara ini diantaranya, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, PhD., Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H., Dr. Yenti Ganarsih.,S.H.,M.H., dan Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum. “RUU KUHP diharapkan dapat menjadi penyeimbang antara kepentingan umum dan kepentingan negara dengan kepentingan individu, serta antara hak asasi manusia (human rights) dengan kewajiban asasi manusia,” kata Benny.
Dalam perkembangannya, makna pembaruan KUHP Nasional yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna dekolonialisasi KUHP kemudian diperluas sehingga meliputi misi demokratisasi dan konsolidasi hukum pidana materiil di Indonesia. “Misi demokratisasi tercermin dalam upaya menjaga keseimbangan moralitas individual, moralitas sosial, dan moralitas institusional.” Ucap mantan Dekan FH UNDIP. “Sedangkan misi konsolidasi tercermin dari upaya untuk menertibkan perkembangan hukum pidana di luar KUHP dengan mengembalikan kendali asas-asas umum kodifikasi secara bertahap,“ katanya.
Selain ketiga misi tersebut, pembaruan KUHP Nasional juga diarahkan pada misi harmonisasi, yaitu dengan menyesuaikan KUHP terhadap perkembangan hukum pidana yang bersifat universal dan misi modernisasi. RUU KUHP ini juga menganut prinsip kodifikasi terbuka dan terbatas tentunya tidak seluruh perbuatan pidana (dalam konteks administratif) dapat dimuat dalam RUU KUHP, terlebih lagi jika ketentuan tersebut dipandang perlu untuk mengedepankan sanksi lain dibandingkan dengan sanksi pidana sebagai bentuk ultimum remidium. Meski menganut prinsip kodifikasi terbuka dan terbatas, RUU KUHP tetap berupaya secara bertahap untuk menghasilkan Undang-Undang hukum pidana yang dapat mengintegrasikan berbagai tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang hukum pidana di luar KUHP ke dalam RUU KUHP.
Benny menyampaikan, RUU KUHP merupakan penal code nasional yang disusun sebagai sebuah simbol peradaban suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sehingga seyogyanya dibangun dan dibentuk dengan mengedepankan prinsip nasionalisme dan mengapresiasi seluruh partisipasi masyarakat. “Oleh karena itu, perbedaan pemahamaan dan pendapat dalam pengaturan RUU KUHP tentunya merupakan kontribusi yang positif yang perlu disikapi dengan melakukan diskusi yang komprehensif dan menyeluruh dari seluruh komponen anak bangsa khususnya para akademisi, praktisi, dan pakar di bidang hukum pidana.” Tutur pria berusia 58 tahun tersebut.
Pembentukan RUU KUHP yang merupakan produk estafet dari para pendahulu, sebentar lagi akan mencapai langkah akhirnya yang mutlak harus kita wujudkan sebagai salah satu magnum opus karya anak bangsa yang patut untuk kita banggakan. “Untuk itu, ruang diskusi dan masukan tetap terbuka demi penyempurnaan karya monumental dalam pembangunan hukum nasional kita ini. Sumbangsih pemikiran para hadirin yang hadir dalam kesempatan pada hari ini akan tercatat sebagai pihak yang turut serta menyampaikan gagasan terkait pembentukan RUU tentang KUHP.” Tutupnya.
Diskusi Publik berlangsung menarik, dengan hadirnya Staf Ahli Memteri Hukum dan HAM Hubungan Antar Lembaga Dahana Putra yang juga di moderarori oleh Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Politik dan Keamanan Y. Ambeg Pramarta. Meskipun para narasumber menyampaikan diskusi secara virtual, antusias peserta yang berjumlah sekitar 100 orang dari berbagai lapisan masyarakat seperti kepolisian, kejaksaan, akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil ini menyampaikan berbagai pertanyaan terkait KUHP yang dibahas oleh narasumber.