Jakarta - Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Cahyo R Muzhar berharap ada penafsiran atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang harus melalui prosedur permohonan penetapan eksekusi di pengadilan. Seperti kita ketahui jika eksekusi prosedur permohonan penetapan melalui pengadilan maka membutuhkan waktu yang lebih lama, dengan beban biaya yang lebih tinggi.
"Saya berharap ada penafsiran Putusan MK yang sebenarnya dan bagaimana tata cara eksekusi ke depannya" kata Cahyo di Jakarta, (4/03/20)
Menurutnya, dalam persoalan ini semua harus punya pemahaman yang sama, bahwa putusan MK sudah final. Dalam konteks ini kata Dia, pemangku kepentingan harus bersama duduk dan mendiskusikan jalan alternatif agar multitafsir atas putusan itu tidak terus meluas.
" Terdapat perbedaan pemaknaan Putusan MK oleh masyarakat akibat tidak adanya kejelasan atas mekanisme penentuan kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan mekanisme proses eksekusi jika amar Putusan MK tidak dipenuhi" jelasnya.
Sementara itu, Suhartoyo Hakim Konstitusi yang hadir dalam acara itu mengungkapkan bahwa Hakim tidak boleh mendiskusikan, mempertentangkan ataupun memperdebatkan Putusan Hakim. Namun untuk sekedar menjelaskan diperbolehkan. Karena nanti akan melanggar kode etik hakim.
" Polisi, tidak bisa menjadi eksekutor, hanya membantu pengamanan Yang memiliki kekuatan eksekutorial adalah yang telah bersertifikat jaminan fidusia" ujarnya
Mengingat objek jaminan fidusia pada umumnya berupa benda bergerak yang sifatnya mudah untuk dipindahalihkan, maka prosedur eksekusi yang lebih panjang akan mengurangi tingkat kepastian eksekusi.
" Tidak boleh mengeksekusi sembarangan" tandasnya.
Dia mengungkapkan bahwa, penafsiran dari MK, tidak perlu adanya gugatan.dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, namun tata caranya berbeda dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. MK sambung Dia, tidak menghilangkan kekhususan Jaminan fidusia untuk eksekusinya, selama tidak ada sengketa antara debitur dan kreditur, serta persyaratan eksekusi langsung dipenuhi.
"harus jelas dasar hukumnya" tambahnya.
Menurutnya MK tidak membatalkan Pasal 15, hanya memberikan pemaknaan, jika terdapat perselisihan, maka proses eksekusi dengan mengajukan eksekusi ke pengadilan.
"Bukan gugatan ataupun meminta putusan ke pengadilan" jelasnya.
Sejalan dengan hal itu, I Gusti Agung Sumanatha Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung mengatakan bahwa Putusan MK sudah final sehingga harus dihormati
"Kami ingin membantu untuk tata cara yang cepat dan murah" ujarnya.
Namun, kata Dia semua harus sudah ada surat peringatan tentang telah terjadinya wanprestasi. Jika itu sudah terpenuhi maka tinggal diajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.
"merupakan kesempatan untuk berdamai" ucapnya.
Semua pihak pasti ingin Perkara dapat diselesaikan secara cepat, mudah dan murah. Sehingga tidak akan membebankan bunga yang harus dibayar debitur.
"Tidak akan masuk ke substansi perkara lagi. Delapan hari selesai" tutupnya.
Abdul Hanan mewakili OJK Mengatakan Sebelum ada putusan ini, kalau debitur wanprestasi, berdasarkan pasal 30 wajib menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka eksekusi, dan kreditur memiliki hak untuk menjual objek jaminan fidusia. Saat ini setelah putusan MK, debitur akan berpikir kreditur tidak boleh begitu saja mengeksekusi. Bias saja debitur yang tadinya tidak nakal, menjadi terinspirasi untuk tidak sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka eksekusi.
"Saya lihat masih ada kesempatan bahwa persyaratan berdasarkan Putusan MK tersebut cukup dipenuhi dengan diatur dalam perjanjian pokok. Kemudian kita mengatur tata cara eksekusi jaminan fidusia" ungkapnya.