
JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan sidang putusan atas uji materi Undang - undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Sidang yang dipimpin oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto,Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dalam Uji materi yang diajukan oleh dua warga, Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo dan tercatat dengan registrasi No. 18/PUU-XVII/2019. Fidusia, menurut UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pemilik benda bertindak sebagai pemberi fidusia (debitur), sementara penerima fidusia (kreditur) adalah pihak yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
Sertifikat jaminan fidusia yang berisi identitas pemberi dan penerima fidusia, uraian benda, nilai penjaminan, hingga nilai benda mencantumkan kalimat ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ seperti bunyi putusan pengadilan. Awalnya, Pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 tentang Fidusia mengatur bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 menyatakan penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri apabila debitur cidera janji.
Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan bahwa materi dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 memiliki persoalan konstitusionalitas. Pasalnya, posisi debitur yang keberatan menyerahkan objek jaminan fidusia lebih lemah karena kreditur dapat mengeksekusinya tanpa mekanisme eksekusi pengadilan.
“Tindakan sepihak berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang dan kurang manusiawi baik fisik maupun psikis terhadap debitor yang acapkali mengesampingkan hak- hak pemberi fidusia,” katanya saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 di Jakarta, Senin (6/1/2020).
Selain itu, MK mendeteksi inkonstitusionalitas dalam Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999. Frasa cedera janji tidak menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan pemberi fidusia mengingkari kesepakatan dengan penerima fidusia.
“Ini mengakibatkan hilangnya hak pemberi fidusia untuk membela diri dan menjual objek dengan harga wajar,” tuturnya.
Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji atau wanprestasi dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan, dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sementara itu, frasa ‘cedera janji’ dalam Pasal 15 ayat (2) harus dimaknai ‘adanya cedera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditor melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditor dan debitor atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cedera janji’.
''Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
Ditambahkan, terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.