
Bintaro - Pemerintah terus mengejar draft Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (RUU HPI) agar bisa segera dibahas dengan DPR setelah sebelumnya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Plt Kasubdit Hukum Internasional Direktorat Otoritas Pusat Hukum Internasional (Dir OPHI) Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Nasional (Kemenkumham), Azharuddin mengatakan HPI merupakan salah satu sub-sistem hukum nasional yang memiliki fungsi untuk memberikan kepastian dalam hal penetapan kewenangan yurisdiksional pengadilan Indonesia dalam mengadili perkara-perkara di bidang hukum keperdataan yang mengandung unsur foreign elements.
Selain itu, HPI juga digunakan untuk menetapkan hukum substantive yang harusnya berlaku maupun menetapkan posisi Pengadilan Indonesia dalam mengakui dan melaksanakan putusan-putusan hukum asing di dalam yurisdiksi Indonesia.
"Terkait HPI belum ada undang-undang yang mengaturnya. Indonesia masih memberlakukan peraturan yang diberlakukan oleh Pemerintah Belanda pada masa penjajahan untuk penyelesaian perkara keperdataan yang mengandung unsur asing, antara lain peraturan Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesische (AB) pasal 16, 17 dan 18 yang merupakan pasal utama untuk menentukan hukum yang seharusnya diberlakukan dalam penetapan status personal, status kebendaan dan perbuatan hukum yang bersifat transnasional," kata Azharuddin saat membuka diskusi nasional bertemakan Urgensi RUU HPI dan Road Map Dalam Legislasi Nasional, Jumat (22/11/2019).
Dia menjelaskan tak hanya AB, Indonesia juga memberlakukan Pasal 436 Reglement op de Burgerlike Rechtsvoredring (RV), yang juga merupakan peninggalan sistem hukum kolonial di bidang hukum acara perdata. Dalam peraturan peninggalan Belanda tersebut menegaskan bahwa putusan pengadilan asing pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia walaupun perkara dapat diajukan kembali sebagai gugatan baru.
"Kedua peraturan tersebut dewasa ini telah dievaluasi dan banyak aspek dalam dinamika masyarakat yang tidak terakomodasi lagi di dalam peraturan tersebut karena dirasa tidak kondusif terhadap perkembangan pergaulan internasional yang menghendaki tidak saja keadilan namun juga kepastian hukum," ujarnya.
Urgensinya RUU HPI, sambung Azharuddin, juga selaras dengan program Presiden Joko Widodo yang sedang berusaha untuk menciptakan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Pemberdayaan UMKM. Terkait dengan perluasan lapangan pekerjaan, salah satu hal yang harus didorong adalah perbaikan iklim investasi di Indonesia, penyiapan sumber daya berketrampilan tinggi untuk bekerja di luar negeri. Sementara pemberdayaan UMKM harus didukung oleh policy sehingga mereka tidak terlindas oleh investasi asing atau dapat memaksimalkan daya saing mereka untuk dapat memasuki ke pasar dunia.
"Kehadiran UU HPI nantinya dapat berfungsi positif untuk mendukung penegakan kedua Omnibus laws berikut berbagai peraturan perundang-undangan yang hendak disesuaikan dengan kedua Omnibus Laws tersebut, khususnya dalam konteks aktivitas Indonesia dalam perekonomian global dan regional," jelasnya.
Lebih jauh, Azharuddin menyampaikan keberadaan RUU HPI dihubungkan dengan peraturan HPI dalam peraturan perundang-undangan yang lain merupakan hubungan yang saling melengkapi dimana UU HPI bisa mengisi kekosongan aturan HPI di peraturan perundang-undangan sektoral.
"RUU HPI pun menjadi rujukan utama dalam hal terdapat sengketa yang belum jelas pilihan hukum dan forum bagi subjek hukum Indonesia dan asing. Hal ini perlu dituangkan dalam undang-undang dalam rangka melindungi warga negara Indonesia," tambahnya.