DEPOK – Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) masih terus membahas penyusunan rancangan perubahan Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Direktur Perdata Ditjen AHU, Daulat P Silitonga mengatakan perubahan UU Jaminan Fidusia merupakan salah satu program Kemenkumham untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan peringkat Indonesia dalam survei World Bank Group (WBG) yakni kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB).
“Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan instruksi tegas untuk meningkatkan peringkat Kemudahan Berusaha Indonesia. Dalam penilaian getting credit pada khususnya, berdasarkan hasil laporan EoDB pada tahun 2017 Indonesia berada di peringkat 62, kemudian meningkat menjadi peringkat 55 pada tahun 2018, dan peringkat 44 pada tahun 2019,” kata Daulat saat membuka Focus Group Discussion Penyusunan Rancangan Perubahan Undang-Undang Jaminan Fidusia, Rabu (11/9/2019).
Dia menjelaskan Kemenkumham ingin melakukan perubahan UU Jaminan Fidusia untuk mendorong proses penjaminan fidusia yang mudah, murah dan cepat. Terkait itu, Ditjen AHU sudah bekerja sama dengan Universitas Indonesia pada tahun 2018 untuk menyusun kajian perubahan UU Jaminan Fidusia.
“Pada tahun 2019 ini, dibentuklah Tim Persiapan Penyusunan Rancangan Perubahan Undang-Undang Jaminan Fidusia yang memiliki target kinerja berupa Perubahan Undang-Undang Jaminan Fidusia yang akan mendukung penyusunan Naskah Akademik di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),” ujarnya.
Berdasarkan hasil kajian, sambung dia, draf Naskah Akademik BPHN tahun 2018, serta hasil rapat pembahasan oleh anggota Tim, terdapat beberapa materi perubahan UU Jaminan Fidusia. Beberapa diantaranya yakni perluasan lingkup objek jaminan fidusia (pesawat terbang), pendaftaran jaminan fidusia berdasarkan jangka waktu perjanjian, kemudian dimungkinkan penggunaan perjanjian di bawah tangan untuk nilai jaminan tertentu (tanpa akta notaris) agar meringankan biaya pembebanan jaminan fidusia dan memangkas waktu proses penjaminan.
“Selanjutnya pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik, pengaturan jangka waktu pendaftaran, pencoretan/roya otomatis kecuali melakukan perpanjangan/ permohonan pencoretan sebelum jatuh tempo, hal ini agar memberikan kepastian hukum bagi debitor maupun pihak ketiga yang berkepentingan terkait status benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang telah memenuhi syarat hapusnya jaminan fidusia,” kata dia.
Tiga masalah terakhir hasil Naskah Akademik BPHN dan anggota tim yakni menghilangkan batas minimum sanksi dan meningkatkan batas maksimum sanksi pada Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Jaminan Fidusia dan menambahkan sanksi untuk pemberi fidusia yang tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka eksekusi.
“Terakhir pengaturan eksekusi jaminan fidusia yang nantinya akan disesuaikan dengan Putusan MK atas Perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengenai judicial review terhadap Pasal 15 ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,” kata Daulat.
Sementara, Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Jaminan Fidusia, Iwan Supriadi mengatakan Regulasi UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sudah hampir berusia 20 tahun sejak disahkan pada 30 September 1999. Kemenkumham sendiri sudah memulai inisiatif untuk melakukan amandemen UU Jaminan Fidusia sejak pertengahan tahun 2015 meski Program Legislasi Nasional saat itu tidak memuat perubahan UU Jaminan Fidusia sebagai prioritas nasional.
“Kontribusi potensial dari penyempurnaan kerangka hukum jaminan benda bergerak terhadap pemulihan dan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan arahan dan prioritas pemerintah, maka dipandang perlu untuk memulai sedini mungkin proses untuk melakukan perubahan UU Jaminan Fidusia, seraya meningkatkan pemahaman publik terhadap potensi fidusia terhadap keseluruhan perekonomian,” ujarnya.
Dia menambahkan Jaminan Fidusia merupakan jaminan benda bergerak yang lahir dari adanya kebutuhan dari masyarakat Indonesia terhadap kredit. Perjanjian kredit bank ataupun perjanjian pembiayaan dan utang piutang adalah perjanjian yang memiliki resiko yang sangat besar.
“Pemberian kredit yang sebagian besar pengembaliannya dilakukan dengan cara mengangsur, membutuhkan instrumen hukum yang mampu melindungi kreditur maupun debitur. Oleh karena itu, jaminan merupakan syarat yang selalu dimintakan oleh kreditur kepada debitur untuk memberikan kepastian pengembalian dari piutangnya tersebut” ungkapnya.