PADANG - Pemilu merupakan sarana untuk mengejawantahkan kedaulatan rakyat. Sebagai sarana kekuasaan tertinggi rakyat, pemilu harus dijaga dari segala kemungkinan praktik
curang dan upaya-upaya membuat keropos sistem pemerintahan yang demokrasi. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara konsisten dengan menerapakan secara sungguh-sungguh prinsip jujur, adil dan demokratis.
" Penyelenggaraan pemilu harus dapat menciptakan pemilu yang adil dan demokratis" kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Ferry Amsari, di Padang (10/18).
Dia juga menyatakan bahwa semua pihak yang berkepentingan dengan pemilu harus berada dalam satu atmosfir yang sama. Regulasi pemilu, menurutnya merupakan salah satu faktor utama. Sebab, aturan hukum merupakan pedoman bagi setiap pihak yang berpartisipasi dalam pemilu untuk menjalankan fungsinya masing-masing.
" Sebagai pedoman, hukum pemilu harus betul-betul mampu menerjemahkan prinsip-prinsip dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang dikehendaki konstitusi’’ Tambahnya.
Sementara itu, Mahfud MD mengatakan bahwa kedaulatan rakyat dalam pemilu hanya sebatas pelaksanaan pemilu, begitu pemilu berakhir dan anggota dewan atau presiden terpilih maka semau terputus dengan rakyat.
"kedaulatan rakyat dlm pemilu hanya sebatas pemilu saja begitu pemilu berakhir maka semua akan terputus dengan rakyat.
Menurut Mafud pemilihan umum harus dilaksanakan berdasarkan asas langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Norma yang kemudian dikenal dengan asas-asas pemilu tersebut.
" Harus bisa diterjemahkan sedemikian rupa ke dalam hukum pemilu, sehingga kontestasi yang terjadi dalam pemilu berjalan dengan jujur, adil dan demokratis" tambahnya.
UU Pemilu baru juga disebut belum mampu menjawab kebutuhan pengaturan dan masalah dalam penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Seperti dalam hal pencegahan dan penegakan hukum terhadap praktek politik uang dan kandidasi calon anggota legislatif yang bermutu dan berintegritas.
Dia juga berujar bahwa proses penegakan hukum sengketa proses dan sengketa hasil pemilu yang tidak mengenyampingkan aspek pembuktian yang berimbang namun tetap dalam konsep proses peradilan cepat (speedy trial).
"Pada beberapa ranah tersebut, UU Pemilu dinilai belum akan mampumengubah dan memperbaiki keadaan secara
signifikan, sehingga kualitas penyelenggaraan pemilu masih sulit ditingkatkan dan lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya. Akhirnya, sebagai sarana pelaksanaan kedaulat" tutup Mafud.
Lebih jauh Direktur Jenderal Perundang -Undangan Widodo Ekatjahjana menambahkan terkait teknis pelaksanaan pemiliu dilapangan,dirinya menyinggung keberadaan Tempat pemungutan suara (TPS) khusus dirumah sakit, lapas dan rutan serta mony politic belum diatur dalam Undang -undang pemilu No 7 tahun 2017.
" Harus diatur karena itu dapat berakibat ricuhnya pelaksanaan dalam pemilu" ujar Widodo Ekatjahjana.
Dia juga menyatakan disamping mampu menerjemahkan kehendak konstitusi, regulasi pemilu harus pula mampu menyerap berbagai evaluasi terhadap proses penyelenggara pemilu sebelumnya. Dalam konteks ini, segala kelemahan baik mengenai prosedur maupun substansi pelaksanaan hak pilih warga negara harus dapat diperbaiki secara konsisten. Pada saat yang sama, regulasi pemilu berada dalam jalurdan agenda memperkuat sistem presidensial di Indonesia dengan terus mendorong penyederhanaan partai politik.
"terciptanya kewibawaan dan legitimasi yang kuat terhadap penyelenggaraan pemilu serta menciptakan kultur demokrasi yang beradab dan tidak dibajak oleh keberadaan oligarki politik serta kekuatan modal (uang)." Tutup widodo.
* (Samsul TN/Sun)