MALANG - Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kembali gandeng akademisi guna mendiskusikan perkembangan terkait Hukum Perdata Internasional (HPI), kali ini beberapa akademisi Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang diajak berdiskusi terkait pandangan-pandangannya tentang Hukum Perdata Internasional yang dewasa ini menjadi isu kebutuhan kepastian hukum di masyarakat.
Kasubdit Harta Peninggalan dan Kurator Negara, Dulyono menyatakan urgensi dari pembuatan HPI terlebih dalam bagian waris, pernikahan, adopsi, kontrak dan ratifikasi konvensi. Dia juga menambahkan bahwa Persoalan yang terkait dengan HPI dapat timbul dari penentuan kewenangan pengadilan atau forum alternatif penyelesaian sengketa. Penentuan hukum yang berlaku, sejauh mana pengadilan harus memberikan pengakuan serta melaksanakan putusan-putusan hakim asing, serta hukum nasional yang berlaku bilamana suatu hubungan hukum mempunyai aspek hukum antar tata hukum dalam sistem hukum nasional yang plural.
‘’Kebutuhan akan HPI yang mempuni dan sesuai dengan keadaan negara saat ini sangat tinggi, khususnya ketika beracara di pengadilan dimana hakim diberikan kewenangan yang sangat luas untuk menginterpretasi hukum perdata internasional karena belum ada guidance dalam perundang-undangan dalam menginterpretasikan hukum perdata internasional di persidangan,’’ ucap Dulyono, di Malang, Senin. (6/8/18)
Sementara itu, Kasi Hukum Perdata Internasional Diana Juliani mengungkapkan bahwa diskusi ini merupakan tinjauan dari segi perbandingan Hukum, Politik Hukum Dan Sosiologi Hukum dalam Upaya Pembentukan Rancangan Undang Undang (RUU) Hukum Perdata Internasional. Dia menambahkan, proses legislasi RUU HPI belum juga tuntas, akibatnya saat ini Indonesia telah tertinggal dari tiga negara Asia lain yang sudah memiliki aturan di bidang HPI.
‘’Jepang telah memiliki aturan di bidang HPI sejak tahun 1898, Cina (1918), dan Thailand (1939). Sementara Belanda telah mempunyai peraturan HPI yang baru sejak 19 Mei 2011. Melihat perkembangan keempat negara ini, maka sudah waktunya bagi Indonesia untuk segera mempunyai UU HPI,’’ ujar Diana.
Terkait hal perjanjian Prof. Suharningsih meminta Pemerintah sebagai lembaga yang menjalankan fungsi publik harus bisa mengarahkan, mengelola dan menyesuaikan pengunaan kewenangan publik dan privat. Negara bertindak sebagai subyek hukum perdata karena mengadakan perjanjian dengan asing, negara menjadi bagian dari hukum yang terikat. Maka dalam pembentukan perjanjian, negara harus menjadi pihak yang diuntungkan, jika terjadi kerugian akan menjadi potensi korupsi.
‘’Kepentingan paling utama adalah menekankan pemahaman posisi negara sebagai publik dan privat dari perangkat yang memiliki peluang membuat kontrak dengan asing, negara tidak boleh menjadi pemilik namun sebagai pengatur,’’ kata Suharningsih.
Afifah Kusumadara menjelaskan perlunya kodefikasi HPI di Indonesia, Dia juga mengungkapkan jika di Jerman melakukan kodefikasi mengenai hukum perdata internasional, dimasukan dalam KUH Perdata. Di belanda juga masuk kedalam KUH Perdata. ‘’Apakah cukup meratifikasi satu per satu konvensi/perjanjian internasional? Indonesia belum menjadi anggota dari Hague Conference on Private International Law (HCCH),’’ kata Afifah.
Dia menambahkan bahwa RUU HPI yang dilampirkan dalam NA adalah upaya kodefikasi, dan saat Indonesia meratifikasi NY Convention itu belum menjadi undang-undang dengan berbagai macam alasan salah satunya adalah belum adanya peraturan turunan dari konvensi tersebut. Hal tersebut menunjukkan, Indonesia yang belum memiliki kejelasan menganut monism atau dualism didalam undang-undangnya. Jika merujuk kepada NY convention, Indonesia menganut dualism, namun dalam beberapa kesempatan Indonesia menunjukkan diri sebagai monism.
‘’UU HPI saat ini, apakah cukup bagi subyek hukum privat? Belum cukup, terpencar pencar, masih banyak yang berasal dari zaman colonial, perlu pembaharuan yang disesuaikan dengan keadaan abad 21. Contoh: transaksi elektronik, dual kewarganegaraan, kasus tort yang semakin meningkat, cross border insolvency.’’ Tutup Afifah.