
YOGYAKARTA - Direktorat Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), kembali mengadakan Forum Diskusi Penegakan Hukum Lintas Batas Negara Melalui mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Acara ini menghadirkan narasumber dari NCB-Interpol Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta peserta dari kalangan akademisi dan mahasiswa fakultas hukum dari beberapa Universitas di Yogyakarta.
‘’Penegakkan Hukum Lintas Batas Negara melalui mekanisme MLA dan Ekstradisi merupakan tugas dari Direktorat Otoritas Pusat dan Hukum Internasional (OPHI ) pada Ditjen AHU’’ kata Gunarso Kepala Kantor Wilayah Yogyakarta saat membuka acara Forum Diskusi tentang Penegakkan Hukum Lintas Batas Negara melalui mekanisme MLA dan Ekstradisi, di Hotel Tentrem, Jl. AM Sangaji no.72 A, Yogyakarta, Kamis. (05/7/18)
Dia juga menyatakan bahwa dipilihnya Yogyakarta sebagai tempat kegiatan bukan tidak beralasan, ‘’Terimakasih Yogja sudah dipilih sebagai tempat kegiatan ini, karena Yogyakarta banyak juga menangani permohonan MLA dan Ekstradisi’’ katanya.
Sementara Itu Maktub - Kasubdit Ekstradisi & TSP saat membacakan sambutan Direktur OPHI, meminta agar OPHI terus melaksanakan bimbingan teknis dan supervisi di bidang bantuan timbal balik dalam masalah pidana, ekstradisi, pemindahan narapidana, dan hukum internasional. Dengan menggunakan Mekanisme MLA sebagai jalan keluar untuk mengatasi kejahatan lintas batas negara.
‘’Ada beberapa kasus yang ditangani oleh MLA dan ekstradisi ini sudah berhasil dan membawa perubahan dalam membantu menyelesaikan permasalahan kejahatan antar negara,’’ tambahnya. Sementara itu, Henry, narasumber yang dihadirkan di acara ini mengatakan bahwa MLA adalah sebuah proses dimana seseorang tersangka yang ditahan negara dan diserahkan kepada negara lain yang adalah negara asal tersangka untuk di sidang sesuai perjanjian yang bersangkutan.
‘’Mekanisme ekstradisi itu merupakan perlindungan HAM karena individu dilindungi oleh 3 hal yaitu tidak akan dituntut untuk kejahatan yang dilakukan sebelum dia melakukan kejahatan ini, tidak akan diserahkan ke negara lain selain negara peminta, dan tidak akan dituntut untuk kejahatan yang sudah dihukum,’’ tutupnya.
Dia juga menambahkan terkait dengan Mutual Legal Assistance (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik yang merupakan mekanisme pemberian bantuan hukum berdasarkan sebuah dasar hukum formal dalam pengumpulan dan penyerahan bukti yang dilakukan oleh otoritas penegak hukum dari satu negara ke otoritas penegak hukum di negara lain, sebagai respons atas permintaan bantuan.
Fase timbal balik ini sambung Henry, mengindikasikan bahwa bantuan hukum tersebut diberikan dengan harapan bahwa akan ada timbal balik bantuan dalam suatu kondisi tertentu, meskipun tidak selalu timbal-balik tersebut menjadi prasyarat untuk pemberian bantuan. ‘’Mutual Legal Assistance merupakan mekanisme formal yang ada di POLRI dan KPK sebagai Competent authorities,’’ tutupnya.
Lebih jauh, Andi Eva Nurliani selaku Kepala Seksi Penanganan Bantuan Hukum Timbal Balik dalam keterangannya berharap supaya bantuan hukum timbal-balik itu berjalan efektif dalam hal pelacakan, pembekuan, penyitaan, konflikasi dan pengembalian aset seyogyanya hal tersebut diadakan Konvensi atau perjanjian internasional yang memungkinkan terjadinya bantuan hukum timbal balik. ‘’Ini dimaksudkan sebagai dorongan pada negara agar mengikatkan diri pada suatu perjanjian dan/atau melakukan perjanjian regional atau bilateral,” lanjut Eva
Narasumber dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Ahmad Taufik, mengatakan ada elemen penting untuk keberhasilan kerja sama dalam komunikasi domestik. ‘’Itu adalah kunci pertama sebelum meminta bantuan ke negara lain. Ada jaringan internasional untuk masing2 instansi,’’ Ucapnya.
Lembaga penegak hukum kata Dia, harus mencoba menjajaki jalur kerja sama hukum antar negara baik informal maupun formal. ‘’KPK mengklasifikasikan kerja sama yang diambil yaitu coercive melalui MLA dan non coercive melalui jalur informal’’ tutupnya.