PERANCIS – Wakil Duta Besar RI untuk Perancis, Agung Kurniadi mengatakan kerjasama antara Indonesia dengan Perancis perlu dilakukan dalam menanggulangi masalah hukum pidana. Para pelaku tindak pidana dari Indonesia bisa saja kabur ke Perancis atau sebaliknya, namun karena tidak adanya kerjasama akan menyulitkan penyelesaian masalah tersebut.
“Perlu adanya kerjasama dan pertukaran informasi dalam penyelesaian kasus-kasus pidana yang menghambat kedua negara. Hal ini sangat penting dalam mengatasi dan menanggulangi tindak pidana yang pelakunya berasal dari kedua negara,” kata Agung, saat menerima delagasi Indonesia yang melakukan kunjung kerja dengan dipimpin oleh Direktur Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), Salahudin dari 11 sampai 14 September 2017.
Ditempat terpisah, Direktur Pidana dan Grasi Kementerian Kehakiman Perancis, Reimy Heitz menjelaskan berbeda di Indonesia, Perancis memiliki pengawasan yang sama untuk jaksa dan hakim yakni di bawah Direktorat Pidana dan Grasi.
“Direktorat Pidana dan Grasi memiliki tugas mengawasi administrasi jaksa dan hakim yang berada di seluruh Perancis. Jadi kami bisa melakukan kontrol terhadap jaksa ataupun hakim,” jelasnya.
Mengenai masalah Grasi, kata dia, ada persamaan dengan Indonesia dimana grasi kewenangan yang dimiliki milik presiden. Namun Presiden Perancis tidak banyak menggunakan wewenangnya dalam masalah grasi.
Sementara, Ketua Majelis Hakim Pidana Perancis, Celine Ballerini mengatakan negaranya memiliki proteksi yang sangat tinggi kepada korban tindak pidana. Para korban ini, bisa melakukan penuntutan dengan pernyataan langsung selain proses tuntutan pidana.
“Di Perancis hak-hak korban tindak pidana sangat dilindungi dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Para penegak hukum menjamin hak-hak para korban tindak pidana tersebut,” kata Celine.
Selain itu, kata dia, di Perancis pemeriksaan pendahuluan tindak pidana dilakukan oleh pihak kepolisian namun di bawah perintah dan petunjuk oleh jaksa. Para jaksa ini yang menentukan perkara tersebut dapat diajukan ke pengadilan atau tidak.
“Dalam arti kata adanya kerjasama antara pihak kepolisian dan jaksa pada tahap pemeriksaan awal. Hal ini akan memudahkan pemeriksaan sebelum diajukan ke pengadilan,” ujarnya.
Direktur Pidana Ditjen AHU, Salahudin menyampaikan di Indonesia pemeriksaan awal pada suatu tindak pidana hanya dilakukan oleh pihak kepolisian. Kejaksaan tidak mempunyai hak dan tidak boleh campur tangan pada pemeriksaan awal tersebut.
“Kewenangan jaksa baru ada ketika polisi sudah menyerahkan berkas perkara ke kejaksaan. Nantinya kejaksaan akan memeriksa apakah berkas tersebut bisa diajukan ke pengadilan atau harus direvisi dahulu oleh pihak kepolisian,” jelasnya.
Kendati belum seperti Perancis, dia mengaku sudah banyak kasus-kasus besar tindak pidana yang sudah diungkap oleh kepolisian dan kejaksaan. Terutama dalam beberapa kasus tindak pidana khusus yakni korupsi, terorisme dan narkoba.
Selain itu, Salahudin menjelaskan ada satu hal yang tidak dipunyai Perancis namun hanya dimiliki Indonesia yakni pembinaan terhadap para terpidana terorisme. Para terpidana tindak pidana terorisme tersebut mendapatkan pembinaan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Diharapkan pembinaan terhadap para terpidana terorisme, mereka yang sudah bebas bisa kembali ke masyarakat dan menjalani kehidupan berbangsa serta bernegara yang baik,” ujarnya.
Tujuan delegasi Indonesia ke Perancis dilakukan untuk memperbaiki sistem hukum pidana di Indonesia. Perancis sendiri memiliki pengaruh besar dalam sistem hukum pidana Indonesia yang dianut saat ini. Alasannya, Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama 3,5 abad pernah dijajah oleh Perancis.
Selain melakukan kunjungan kerja ke KBRI Indonesia ke Perancis, Direktorat Pidana dan Grasi Kementerian Kehakiman dan Majelis Hakim Pidana Perancis, delegasi juga berkunjung ke General Directorate of The National Police Ministry of The Interior (Sub Directorate for The Fight Against Organized Crime and Financial Delinquency).