DENPASAR – Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Daulat P. Silitonga mengatakan dalam rangka Indonesia untuk menembus posisi 35 besar dunia sebagai negara Ease of Doing Business (EODB) pada 2018 oleh Bank Dunia perlu dilakukan perubahaan UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Dia menjelaskan perananan jaminan Fidusia dalam mencapai EODB sangatlah besar, terutama dalam pemberian getting credit terhadap benda bergerak dari debitur dalam hal ini lembaga keuangan kepada kreditur yakni masyarakat. Namun, kata dia, berkembangnya jaman membuat cara-cara penjualan secara kredit terhadap benda bergerak banyak yang baru dan belum tercantum dalam UU Jaminan Fidusia.
“Perlu dilakukan reformasi penjaminan benda bergerak dan memperjelas kedudukan kreditur preferen, kokuren serta lainnya,” kata Daulat saat menyampaikan paparannya pada acara Uji Publik Kajian Perubahan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Fidusia dengan tema Refleksi 18 Tahun UU Fidusia, di Hotel Aston, Denpasar, Bali, Kamis (7/9/2017).
Saat ini, lanjut dia, getting credit Indonesia terutama jaminan fidusia sudah banyak dilakukan perbaikan dalam bidang layanan seperti pendaftaraan di aplikasi fidusia online yang hanya tujuh menit, pembukaan akses fidusia online bagi perbankkan, perusahaan pembiayaan dan masyarakat perorangan, masyarakat dapat mengecek sendiri barang yang akan dijaminkan, print sendiri sertifikat fidusia serta perbaikkan sertifikat fidusia bisa dilakukan secara online.
“Namun perubahan ini masih kurang dalam bidang regulasi terutama pada UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Sehingga perlu ada amandemen dalam UU tersebut agar layanan ini bisa mendongkrak peringkat Indonesia di EODB,” ujarnya.
Terkait EODB, Daulat menuturkan pada 2017 ini peringkat Indonesia ada diperingkat 91 dan jauh dari target yang ditetapkan pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla diposisi 40. Kendati demikian, Indonesia dinilai oleh Bank Dunia sebagai negara top reformer karena melakukan perubahan secara drastis dalam hal kemudahan berusaha.
Sementara, Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkumham Bali, Sutirah menyampaikan banyak sekali masalah-masalah yang timbul terkait dengan fidusia namun tidak terdapat dalam UU Jaminan Fidusia. Padahal, jaminan fidusia saat ini banyak digunakan oleh perusahaan pembiayaan maupun bank sebagai bentuk perjanjian acessoir dari perjanjian hutang piutang dan jual beli kredit.
“Fasilitas pembiayaan konsumen dalam perusahaan pembiayaan cukup mendapat sambutan hangat dari masyarakat, terbukti dengan berkembang pesatnya perusahaan pembiayaan yang ada di Indonesia. Sehingga jaminan fidusia yang diikutkan dalam perjajian hutang piutang dan jual beli kredit patut untuk dianalisis lebih lanjut,” jelasnya.
Kepala Subdit Fidusia Direktorat Perdata Ditjen AHU, Iwan Supriadi mengatakan amandemen UU Jaminan Fidusia dilatarbelakangi pemberian perlindungan instrumen hukum kepada kreditur dan debitur. Alasannya, perjanjian kredit bank ataupun pembiayaan dan hutang piutang merupakan perjanjian yang memiliki resiko sangat besar.
“Perubahan UU Jaminan Fidusia diharapkan akan memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat yang menggunakan jaminan fidusia dengan lembaga penjaminan sehingga keadilan akan dapat diperoleh hingga tercipta suasana yang kondusif dalam perekonomian,” tuturnya.
Dosen Universitas Udayana, Bali, I Made Sarjana menambahkan pada amandemen UU Jaminan Fidusia ada beberapa poin yang harus diperhatikan. Pertama pasal 3 huruf c menyangkut pesawat terbang, ketentuan yang menyangkut pendaftaraan karena masih ada perdebatan apa yang didaftarakan serta pendaftaraan hanya untuk memenuhi asas publisitas.
“Beberapa poin tersebut harus diperhatikan dalam amandemen UU Jaminan Fidusia nanti. Masih ada poin lain dimana UU Jaminan Fidusia tidak sejalan dengan UU lainnya,” tutupnya.