TANGERANG - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dalam hal ini Direktorat Otoritas Pusat Hukum Internasional (OPHI) Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) masih terus mematangkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi.
Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Ekstradisi dan Pemindahan Narapidana Muhammad Fajar mengatakan ekstradisi merupakan penyerahaan dari suatu negara kepada negara yang meminta terhadap seseorang yang disangka atau dipidana melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yuridiksi wilayah negara peminta yang berwenang untuk mengadili dan memidanakannya.
“Ekstradisi bisa dilakukan berdasarkan perjanjian, atau hubungan baik, Penetapan dual Ekstradisi dilakukan berdasarkan perjanjian, atau hubungan baik dimana kepentingan negara Indonesia menghendakinya berdasarkan prinsip timbal balik (resiprositas),” kata Fajar, Kamis (16/5/2019).
Dia menjelaskan dasar hukum ekstardisi yang ada di Indonesia sendiri mengacu pada UU No 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. UU tersebut sudah berusia 30 tahun dan belum pernah dilakukan revisi.
“Revisi UU Ekstradisi ini untuk mengakomodir acuan dasar hukum internasional tentang ekstradisi lainnya seperti UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention against Corruption 2003/UNCAC (Konvensi PBB Anti Korupsi 2003) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention against Transnational Organized Crime/UNTOC (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi),” jelasnya.
Sementara, Ketentuan Ekstradisi saat ini terdapat di dalam specific-crime convention seperti halnya UN Convention against Corruption, UN Convention against Transnational Organized Crime dan Drug Convention 1988. Konvensi tersebut diatas hanya terkait dengan tindak pidana yang diatur dengan konvensi, dan tidak dapat digunakan terhadap tindak pidana diluar konvensi-konvensi tersebut.
“Diharapkan dengan Revisi RUU Ekstradisi sangat penting karena mengingat perjanjian Ekstradisi dibentuk pada tingkatan pemerintah (government to government), maka proses pembentukan Perjanjian Ekstradisi dimaksud, sejak persiapan hingga penandatanganannya telah melibatkan seluruh Kementerian dan Lembaga teknis terkait, khususnya lembaga penegak hukum sebagai competent authorities (end users), seperti Polri dan Kejaksaan,” ungkapnya.