
Jakarta - Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) berkomitmen terhadap pelaporan dan transparansi Beneficial Ownership (BO) sesuai regulasi dan terus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Dalam menjalankan komitmen tersebut, Ditjen AHU telah memberlakukan sanksi bagi korporasi yang belum melaporkan BO. Sanksi tersebut berupa blokir akses SABH AHU Online, sehingga korporasi tidak dapat mengubah AD dan data perseroan, serta tidak dapat menjalankan operasional bisnis yang membutuhkan ijin melalui NIB OSS. (13/3/22).
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Perdata Santun Maspari Siregar yang didampingi Direktur TI Sri Yuliani saat rapat koordinasi dengan perwakilan Putri Wijayanti, selaku Koordinator Nasional Program Anti Korupsi United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan Emily Manuel, Regional Manager for Asia Pacific The Open Ownership.
Pada rapat itu Santun mengatakan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah memberlakukan sanksi non-finansial bagi korporasi yang tidak memenuhi peraturan mengenai BO. Sanksi tersebut berupa pengumuman blacklist korporasi yang tidak melaporkan BO, yang diumumkan pada laman AHU Online. Tujuan dari pemberlakuan sanksi tersebut adalah untuk menarik perhatian pihak lain yang berkepentingan terhadap korporasi. Sehingga mereka mengetahui bahwa korporasi tersebut tidak memenuhi peraturan perundang undangan.
“Kami telah memulai melakukan verifikasi data BO sebagai basis buka blokir bagi korporasi yang telah mengisi BO pasca dilakukan blokir sejak 23 Februari 2023. Kami memeriksa setiap BO pada korporasi untuk mengetahui apakah BO yang dilaporkan berupa orang perorangan atau badan hukum/entitas lain. Jika yang dilaporkan adalah korporasi/entitas lain, kami akan menindaklanjuti dengan memberitahukan (via email) agar korporasi tersebut dapat merubah BO nya sesuai dengan peraturan perundang undangan. Kami tidak akan mencabut sanksi blokir sampai dengan korporasi tersebut telah memenuhi pelaporan BO yang sesuai aturan, “ ujar Santun di kantor Ditjen AHU, Jakarta.
Lebih jauh Santun menjelaskan, data BO dapat diakses oleh publik melalui laman ahu.go.id dimana informasi tersebut berupa nama dan alamat korespondensi pihak yang dijadikan BO.
“Kami juga telah melakukan Perjanjian Kerja Sama dengan beberapa Kementerian/Lembaga, antara lain PPATK, Bareskrim Polri, Ditjen Pajak Kemenkeu, Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM, BPN, Kementerian Kehutanan dan LH, serta Kementerian Dalam Negeri. PKS tersebut memberikan akses bagi Kemenkumham dan K/L terkait untuk mengetahui lebih detail data BO yang dilaporkan serta untuk membantu penyidik kepolisian dalam melakukan penyelidikan. Selain itu Kemenkumham juga selalu memberikan data perseroan yang dibutuhkan oleh APGAKUM dalam menjalankan tugasnya,” terangnya.
Dirinya mengungkap bahwa hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan presentase pelaporan BO yang rendah, dan Ditjen AHU terus berupaya untuk melakukan sosialisasi kepada pihak terkait, pelaku usaha, termasuk Non Governmental Organization (NGO) terkait.
“Kami juga terus berkolaborasi dengan UNODC, EITI dan Open Ownership untuk berdiskusi mengenai perbaikan kebijakan BO serta dalam kampanye terkait pentingnya pelaporan BO, juga pemberian training singkat kepada tim kami terkait pendalaman materi transparansi BO,” tuturnya.
Santun juga menjelaskan bahwa Kemenkumham akan melakukan verifikasi BO berdasarkan Sectoral Risk Assessment (SRA), yang mana sistem AHU Online akan mengklarifikasikannya berdasarkan level resiko.
“Recana kami, korporasi beresiko tinggi akan dilakukan verifikasi menggunakan kuesioner online untuk melakukan konfirmasi apakah BO yang dilaporkan akurat. Dalam hal Kemenkumham masih meragukan terkait keakurasian BO korporasi risiko tinggi, verifikasi manual dapat dilakukan,” pungkasnya.