
Jakarta – Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), mengamanatkan bahwa setiap korporasi wajib menentukan pemilik manfaat (beneficial ownership) dari korporasi, baik sebagai Perseroan Terbatas, Yayasan, Perkumpulan, CV, Firma, Persekutuan Perdata, Koperasi dan entitas badan hukum lainnya.
Dalam implementasi Peraturan Presiden tersebut, beberapa pertanyaan yang sering diajukan kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) adalah bagaimana cara menentukan Pemilik Manfaat Yayasan dan Perkumpulan, khususnya dalam statusnya sebagai badan hukum yang bersifat sosial atau non-profit organization.
Sebagai upaya penyebarluasan informasi kepada masyarakat terkait penentuan pemilik manfaat dari Yayasan dan Perkumpulan, Ditjen AHU menyelenggarakan webinar yang berjudul “Siapa Pemilik Manfaat Yayasan dan Perkumpulan?”
“Yayasan atau Perkumpulan merupakan korporasi yang mempunyai risiko tinggi untuk dimanfaatkan sebagai sarana TPPU dan TPPT, namun dalam rangka pencegahan dan pemenuhan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) , perlu kiranya adanyan kesadaran dari Yayasan dan Perkumpulan untuk menentukan dan melaporkan Pemilik Manfaatnya.” kata Direktur Perdata Ditjen AHU Santun M. Siregar, dalam Keynote Speech sekaligus membuka acara resmi di Hotel Mercure Jakarta (05/07/2022).
Berdasarkan database pada Ditjen AHU, per tanggal 28 Juni 2022, dari total 310.791 yayasan yang terdaftar sebagai badan hukum, terdapat 54.116 yayasan atau sekitar 17,41% yang telah menyampaikan informasi tentang Pemilik Manfaat. Untuk perkumpulan, dari total 204.488 yang terdaftar sebagai badan hukum, terdapat 19.946 perkumpulan atau 9% yang telah menyampaikan informasi tentang Pemilik Manfaat.
Angka atau presentase tersebut menunjukan tingkat awareness Yayasan dan Perkumpulan untuk menentukan Pemilik Manfaat perlu mendapatkan perhatian yang sungguh sungguh dari para pemangku kepentingan, sehingga masyarakat mempunyai kesadaran hukum yang lebih baik sekaligus sebagai upaya pemenuhan rekomendasi FATF butir 24 (terkait dengan Kepemilikan Manfaat atau beneficial ownership Badan Hukum).
“Webinar ini mengupas secara komprehensif tentang siapa dan bagaimana cara untuk menentukan Pemilik Manfaat dari suatu badan hukum Yayasan dan Perkumpulan” ujar Santun.
Webinar yang diikuti 1.800 peserta dari seluruh Indonesia, dengan berbagai macam profesi, diantaranya Notaris, Pengacara/Konsultan Hukum, Akademisi, Aparatur Sipil Negara, aktivis atau pekerja sosial, serta masyarakat umum. Menghadirkan narasumber, yakni Direktur Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Fithriadi Muslim; Tenaga Ahli STRANAS PK – KPK Fridolin Berek; dan Deputy Country Manager United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesia Zoelda Anderton.
Dalam pemaparannya para narasumber secara umum menekankan pentingnya Yayasan dan Perkumpulan untuk menentukan dan melaporkan Pemilik Manfaat sebagai upaya untuk menciptakan iklim investasi yang aman dan transparan, serta meringankan tugas para aparat penegak hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT.
Sebagaimana ditegaskan oleh Fithriadi Muslim, untuk menentukan Pemilik Manfaat Korporasi pada dasarnya telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT.
Di hari yang sama, Ditjen AHU juga menyelenggarakan webinar “Kebijakan Pendirian Yayasan oleh Warga Negara Asing”. Dengan menghadirkan narasumber Direktur Keamanan Diplomatik pada Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Agung Cahaya Sumirat dan Direktur Perdata Ditjen AHU Kemenkumham Santun M. Siregar.
Webinar tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman secara komprehensif kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat, khususnya terkait tujuan pengaturan dan mekanisme atau tata cara prosedural pendirian Yayasan Asing oleh Warga Negara Asing.
Agung Cahaya Sumirat menekankan tentang regulasi yang berlaku terhadap syarat dan tata cara pendirian Yayasan oleh Warga Negara Asing (WNA) semenjak diundangkannya Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyaratan dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan Oleh Warga Negara Asing.
Selanjutnya, dalam hal permohonan pengesahan badan hukum Yayasan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Santun M. Siregar menekankan pentingnya masyarakat dan Notaris memahami aturan tentang penggunaan nama Yayasan, serta mengindahkan larangan-larangan penggunaan nama suatu Ormas atau Yayasan, terutama yang berpotensi untuk menimbulkan kerawanan sosial.