Jakarta- Direktorat Otoritas Pusat dan Hukum Internasional (OPHI) mengadakan Rapat terkait penggunaan lambang menurut Hukum Humaniter. Rapat yang diadakan di ruang rapat Ali Said lantai 17, Gedung Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia (02/06), dibuka oleh Direktur OPHI, Cahyo R. Muzhar. Rapat ini dilaksanakan dalam rangka penyusunan kajian untuk mempercepat proses pembahasan RUU Kepalangmerahan.
Dalam Pembukaan sekaligus paparannya, Cahyo menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan terhadap korban perang. “Oleh karena itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan Jenewa 1949 tersebut ke dalam Hukum Nasional, antara lain seperti membuat peraturan mengenai penggunaan dan perlindungan lambang palang merah dan bulan sabit merah. Saat ini pemerintah RI dan DPR RI dalam tahap pembahasan Rancangan Undang-undang tentang palang merah”, ujarnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, terdapat perkumpulan dan yayasan yang menggunakan nama dan lambang bulan sabit merah oleh pihak yang tidak berhak, sehingga menimbulkan kekeliruan dan penyalahgunaan nama dan lambang tersebut. “Harus ada tindakan tegas terkait penggunaan lambang tersebut sesuai yang telah diatur dalam Pasal 508 dan 565 KUHP”, tambah Cahyo.
Walaupun Hukum Nasional Indonesia telah mengatur mengenai pemakaian/penggunaan lambang tanda palang merah dan bulan sabit merah serta singa merah dan matahari merah, tapi Indonesia masih memerlukan UU yang mengatur mengenai hal tersebut secara khusus.
Rapat yang dihadiri oleh Direktur Perdata, Kasubdit Parpol ,beberapa staf dan fungsional OPHI ini diharapkan kedepannya dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait penggunaan lambang dan sanksi atas pelanggarannya dan memberikan saran kepada pemerintah terkait pengesahan RUU tentang palang merah yang memang dibutuhkan agar tidak adanya penyalahgunaan lambang baik dalam keadaan damai ataupun dalam keadaan konflik.