
YOGYAKARTA - Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Cahyo R. Muzhar mengatakan korporasi pada saat ini sering disalahgunakan tindak pidana dalam kasus pencucian uang, terorisme dan korupsi dalam menyembunyikan identitas pelaku dan hasil kegiatannya.
Cahyo juga menjelaskan sesuai dengan arahan Presiden pemangkasan birokrasi, menderegulasi peraturan perundang-undangan dan penyederhanaan menjadi bagian dari Indonesia Maju. “Salah satu indikator Indonesia maju adalah pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang menyentuh semua kalangan” Jelas Cahyo. “Pada periode pertama Jokowi mencanangkan agar Indonesia harus mendapat peringkat EoDB di angka 4, hal tersebut diperlukan untuk menjadi suatu indikator bussiness friendly dan economy friendly” Tambahnya.
Selain itu berdasarkan hasil penelitian Financial Action Task Force (FATF) terhadap pengaturan dan penerapan transparansi informasi pemilik manfaat menyatakan bahwa rendahnya informasi pemilik manfaat yang cepat, mudah dan akurat di Indonesia telah dimanfaatkan oleh para pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan identitas pelaku usaha dan menyamarkan hasil dari tindak pidananya.
"Mereka menggunakan korporasi tersebut untuk menggunakan harta kekayaan dari korporasi yang diduga sebagai hasil dari tindak pidana," kata Cahyo saat membuka Sosialisasi Beneficial Ownership (BO) Sebagai Salah Satu Bentuk Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Oleh Korporasi, di Yogyakarta (11/11/2019).
Dia menjalaskan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dapat mengancam stabilitas, integritas sistem perekonomian, sistem keuangan, serta membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam menghadapi tindak pidana tersebut, Inonesia sudah melakukan beberapa hal seperti menjadi anggota Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) sejak 2001, menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF) pada 2018 dan saat ini Indonesia tengah mempersiapkan pelaksanaan Mutual Evaluation (ME) periode 2019-2020.
"Salah satu rekomendasi FATF dalam rangka pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan Terorisme adalah perlu adanya pengaturan dan mekanisme untuk mengenali pemilik manfaat dari suatu korporasi guna memperoleh informasi mengenai pemilik manfaat yang akurat, terkini, dan tersedia untuk umum," ujarnya.
Cahyo mengungkapkan korporasi dapat dijadikan sarana baik langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan pemilik manfaat dari hasil tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, selama ini belum ada pengaturan dan mekanisme penyampaian informasi dan transparansi pemilik manfaat Korporasi.
"Berdasarkan hal tersebut maka Presiden telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme pada tanggal 1 Maret 2018 dan kemudian diundangkan oleh Kemenkumham pada 5 Maret 2018," jelasnya
Keluarnya Perpres Nomor 13 Tahun 2018, sambung dia, Ditjen AHU telah melakukan penambahan aplikasi penyampaian informasi pemilik manfaat melalui Sistem Administrasi Badan Hukum dan Sistem Administrasi Badan Usaha, sehingga setiap korporasi yang melakukan pengesahan, perubahan wajib melakukan pengisian data pemilik manfaat yang akan menjadi database dan bagian dari proses pengawasan korporasi.
"Saya sangat mengapresiasi acara Sosialisasi Beneficial Ownership (BO) tentang Perkembangan dan Implementasi Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik manfaat Korporasi Dalam Rangka Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, dengan acara ini kita harapkan dapat saling silaturahmi, bertukar informasi serta merefleksi apakah Perpres Nomor 13 Tahun 2018 ini sudah cukup menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip mengenali pemilik manfaat suatu Korporasi dalam pencegahan tindak pidana pencucian uang dan terorisme," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenkumham Yogyakarta, Krismono mengatakan aplikasi Beneficial Ownership atau pemilik manfaat korporasi yang ada di Ditjen AHU Kemenkumham sebagai respon dari lahirnya Perpres Nomor 13 Tahun 2018.
"Permenkumham No.15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi sebagai implementasi dari ditandatanganinya nota kesepahaman dan perjanjian kerjasama antara Menteri Hukum dan HAM dengan lima Kementerian dan Lembaga," ujarnya.
Lebih jauh, dia menjelaskan peraturan tersebut mengatur secara teknis tentang tata cara penyampaian keterbukaan informasi pemilik manfaat dari korporasi atau dikenal dengan Beneficial Ownership (BO) yaitu korporasi diwajibkan untuk menyampaikan informasi BO dengan benar pada saat permohonan pendirian, pendaftaran, dan pengesahan korporasi serta pada saat menjalankan usaha atau kegiatannya.
"Sosialisasi semoga menjadi langkah kongkrit bagi pemerintah maupun korporasi dalam mewujudkan transparansi informasi BO yang dapat mengakselarasi implementasi budaya korporasi (corporate culture) yang lebih berintegritas, serta wujud partisipasi korporasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terrorisme," tutupnya.