Bintaro - Perkembangan ekonomi Indonesia yang terus membaik dengan tingginya investasi di Indonesia membuat para investor memerlukan jaminan keamanan atas investasi yang sudah ditanamnya. Salah satu faktor jaminan tersebut yakni perlu adanya perbaikan sistem hukum kepailitan di Indonesia.
Berdasarkan data, realisasi Penanaman Modal dalam Negeri Tahun 2018 sebesar Rp. 86,4 triliun, naik 11 persen dari tahun 2017 yaitu hanya Rp. 76,4 triliun sementara realisasi Penanaman Modal Asing Tahun 2018 sebesar Rp. 108,9 triliun naik 12,4 persen dari tahun 2016 yang hanya Rp. 97 triliun.
Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Daulat Pandopotan Silitonga mengatakan perbaikan sistem hukum kepailitan di Indonesia sangat berguna untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian dalam menyelesaikan utang piutang.
"Jumlah investasi yang besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri tersebut, memerlukan kepastian jaminan hukum. Kelemahan UU Kepailitan dan PKPU adalah penyelesaian dan eksekusi terhadap harta pailit lintas yuridiksi suatu negara yang disebabkan karena adanya hukum antar negara dengan negara lainnya," kata Daulat saat acara Cross-Border Insolvency dalam Perubahan RUU Kepailitan di Hotel Aviary Bintaro, Tangerang Selatan, Senin (25/2/2019).
Dia menjelaskan pada UU Kepailian yang saat ini berlaku hanya menerapkan asas teritorial. Hal ini sering menimbulkan pertanyaan bagaimana kalau aset debitor pailit berada di luar negeri dan bagaimana kalau Debitor pailit lari ke luar negeri.
"Cross-Border Insolvency sebagai solusi permasalahan yang bisa menjawab bagaimana kalau aset debitor pailit berada di luar negeri dan bagaimana kalau Debitor pailit lari ke luar negeri," ujarnya.
Dalam UU No 37 tahun 2004 tenatang Kepailitan dan PKPU, sambung dia, ketentuan pasal-pasal hukum internasional dalam UU tersebut justru sifatnya negatif, dimana melarang pihak-pihak terkait untuk mengadakan perbuatan merugikan meskipun pihak tersebut adalah kreditor yang berhak menagih atas piutangnya. Permasalahan terkait kepailitan lintas batas negara mengenai eksekusi harta pailit yang berada di luar wilayah negara Republik Indoensia, dalam UU Kepailitan dan PKPU tidak memberikan ruang bagi berlakunya ketentuan kepailitan lintas batas negara (Cross-Border Insolvency).
"Hal ini disebabkan karena Recognition atau pengakuan terhadap putusan pengadilan asing dan aspek teritorialitas lex rei citae di mana berdasarkan Pasal 17 Aglemen van Bepalinen voor Indonesia pada benda bergerak berlaku hukum setempat, di mana aspek ini mengakibatkan Kepailitan yang dinyatakan pengadilan asing tidak berdampak terhadap pada asset Debitor demikian juga sebaliknya Keputusan kepailitan Pengadilan Indoensia tidak terpengaruh terhadap Debitor asing di luar negeri," ungkapnya.
Daulat menambahkan terkait dengan permasalahan tersebut bisa terjawab jika dalam perubahan RUU Kepailitan dan PKPU memasukan substansi Cross-Border Insolvency sebagai muatan dalam UU Kepailitan dan PKPU, disamping itu juga perlunya didiskusikan bersama mengenai kepailitan group atau Enterprise Group Insolvency Model Law yang telah didiskusikan oleh Working Group yang sudah memasuki sesi ke 54 yang diselenggarakan di Wina Austria bulan Nopember 2018.
"Di mana disetiap diskusi Working Group tersebut dinyatakan telah dihadiri oleh perwakilan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Indonesia dianggap telah menyetujui gagasan terkait dengan Enterprise Group Insolvency," terangnya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Pengajar Indonesia, Ari Suyudi mengatakan selain masalah Cross-Border Insolvency RUU Kepailitan dan PKPU juga harus memperhatikan UMKM. Dalam pengaturan kepailitan terhadap UMKM harus dipisahkan dengan aturan kepailitan. Hal ini dikarenakan UMKM adalah pelaku ekonomi terbesar dan UMKM juga seringkali mengalami kegagalan.