JAKARTA – Posisi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) selaku central authority menjadi salah satu lembaga yang memiliki peran vital agar Indonesia dapat bergabung sebagai negara anggota Financial Action Task Force (FATF) secara penuh. Ditjen AHU berkomitmen untuk menyukseskan agar proses keanggotaan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Cahyo R. Muzhar pada Rapat Persiapan Mutual Evaluation Review (MER) di Jakarta, Senin (20/05/22).
“Bapak presiden memberikan arahan untuk mewujudkan iklim usaha yang mudah, aman, dan berkepastian hukum di Indonesia. Dengan bergabungnya Indonesia menjadi anggota FATF, akan menaikkan trust para investor untuk melakukan investasi di Indonesia. Hal ini sangat penting untuk memulihkan perekonomian bangsa yang sebelumnya terdampak akibat pandemi. Dengan terbukanya keran investasi, diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi roda perekonomian negara. Oleh karenanya Ditjen AHU akan berjuang secara maksimal”, ungkap Cahyo.
Ditjen AHU bertanggung jawab untuk memastikan pelaksanaan rekomendasi yang seharusnya efektif, untuk menghasilkan tiga Immediate Outcomes (IO) yang dikeluarkan oleh FATF, yaitu:
1. IO 2 – Membangun kerjasama internasional untuk memberikan informasi yang tepat, financial intelligence, bukti, serta memfasilitasi terhadap pemberantasan tindakan kejahatan dan aset mereka;
2. IO 3 - Pengawas melakukan peran fungsinya secara tepat dalam memantau dan mengatur lembaga keuangan, serta pada Pengaturan dan Pengawasan Penyedia Barang dan Jasa (PBJ) agar sesuai dengan persyaratan Rezim Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) yang sepadan dengan risikonya.
3. IO 5 - Pengaturan badan hukum agar dapat tercegah dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan/atau tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT), serta tersedianya informasi Pemilik Manfaat bagi pihak yang berwenang tanpa hambatan
IO sendiri merupakan indikator capaian kerja yang perlu dipenuhi dan dilakukan oleh pemerintah, dan nantinya akan dinilai oleh aksesor dari FATF.
Ketiga IO di atas berkaitan langsung dengan empat fokus isu yang menjadi tusi Ditjen AHU, yakni mengenai Mutual Legal Asisstance (MLA) dan Ekstradisi (IO 2), Kenotariatan (IO 3), dan Badan Hukum (IO 5). Oleh karena itu, Ditjen AHU menjadi salah satu lembaga negara yang memiliki responsibilitas dalam tercapainya ketiga IO tersebut.
Mengenai isu terkait Badan Hukum yang berhubungan secara langsung dengan penerapan Pemilik Manfaat/Beneficial Ownership (BO) untuk memberantas TPPU dan TPPT di Indonesia. Ditjen AHU telah menetapkan regulasi penerapan Pemilik Manfaat Korporasi, yaitu Permenkumham No. 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi, dan Permenkumham No. 21 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.
Sejak 2019, Ditjen AHU telah aktif melakukan sosialisasi Penerapan Pemilik Manfaat Korporasi di berbagai wilayah. Penerapan Pemilik Manfaat Korporasi juga menjadi salah satu Target Kinerja Penyelenggaraan Administrasi Hukum Umum di seluruh Kanwil Kemenkumham pada Tahun 2020 dan 2021.
“Ditjen AHU juga melakukan integrasi data korporasi dengan Pusat Pelapor-an dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah TPPU, TPPT, dan korupsi”, jelas Direktur Perdata Ditjen AHU, Santun Maspari Siregar dalam rapat yang juga dihadiri oleh Majelis Pengawas Pusat Notaris (MPPN) dan PPATK.
FATF sendiri merupakan badan antar pemerintah yang dibentuk dalam Pertemuan G7 di Paris pada tahun 1989. Pendirian FATF dimaksudkan untuk menetapkan standar dan mempromosikan pelaksanaan yang efektif dari langkah-langkah hukum, peraturan dan operasional untuk mengatasi TPPU, TPPT, serta ancaman yang relevan lainnya bagi integritas sistem keuangan internasional.
Indonesia telah berupaya bergabung menjadi anggota FATF semenjak tahun 2017 lalu. Saat ini Indonesia merupakan negara anggota G20 satu-satunya yang masih belum tergabung dalam keanggotaan FATF, dan baru berasosiasi dengan Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG), yaitu bagian dari FATF-Style Regional Bodies (FSRBs).