Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly dikukuhkan menjadi guru besar krimonologi di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Kini Gelar Yasonna bertambah, ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 25458/M/KP/2019 tanggal 11 Juli 2019.
Dalam Rapat senat terbuka yang secara langsung dipimpin oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia yang ke 5 Megawati Soekarno Putri, Serta Wakil Pressiden Jusuf Kalla, dan beberapa tamu undangan, saat itu Menkumham Yasonna menyampaikan pendapat orasi ilmiahnya, di Auditorium Mutiara, PTIK, Jakarta Selatan, Rabu (11/9/2019).
Orasi yang disampaikan berjudul “Dampak cyber bullying dalam kampanye pemilu terhadap masa depan demokrasi di era revolusi industri 4.0.” Politisi PDIP yang diangkat berdasar keputusan Menristekdikti itu memulai orasinya dengan tragedi WTC.
“Pada tanggal ini, 18 tahun lalu, dua menara WTC ditabrak pesawat. Membunuh ribuan orang dalam sekejab. Ini merupakan serangan terorisme. Hingga kini masih ada 1.111 korban yang belum teridentifikasi,” kata Yasonna.
Benih-benih terorisme terus berlanjut menyusuri ruang waktu dan masih mengancam. Mereka menyebarkan virus intoleransi dan radikalisme sebagai bibit terorisme. Ancaman di dunia siber digital ini menyasar anak muda.
“Tak hanya terorisme, penindasan juga semakin sering didunia maya. Kini sebagian besar orang membentuk opini melalui berbagai media sosial. Para politisi termasuk calon presiden pun jadi korban cyber bullying. Ini contoh konkrit bahwa teknologi internet tak selamanya sesuai tujuan awal untuk kemakmuran umat manusia,” tambahnya.
Di masa kampanye, Yasonna menambahkan, materi hoax dan mencari kesalahan lawan politik dicari lalu di blow up. Ini tentu jauh dari tata karma, keadaban, dan masuk dalam era post truth. Kebenaranpun tidak dianggap penting yang penting ialah bagaimana orang bisa percaya.
“Hoax mengalahkan kebenaran. Hoax menimbukan kebingungan dan kita mempertanyakan penegakan hukum. Kita sendiri juga sering kali bingung saat baca di media sosia, apakah ini benar atau tidak. Produksi hoax pun terus berlangsung,” imbuhnya.
Meski telah dibantah hoax masih saja terus viral. Siapa yang harus diarahkan dan siapa yang harus didiskreditkan. Bisa jadi produsen hoax adalah divisi yang khusus dibuat kontestan politik atau disewa oleh kontestan seperti dalam pabrik hoax saracen.
“Political cyber bullying punya akar sendiri. Ini kekerasan simbolik dan menyerang kredibilitas calon politik. Ini saya prediksi jadi trend. Tahun depan ada 270 Pemilu pilkada maka kita akan lihat ke depan akan ada cyber bullying dan cyber victimisasi,” jelasnya.
Masyarakat pun disebutnya masih senang melihat orang susah dan susah kalau melihat orang senang (SMS). Internet menjadi pisau yang bermata dua. Baik maupun buruk itu semua tergantung siapa yang menggunakan internet.
Kita lanjut Yasonna, harus memberikan perhatian yang khusus dan melakukan penelitian lanjutan. Kita perlu melakukan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak untuk memberikan hukuman, tetapi utamanya untuk memberikan pedoman dalam penggunaan sarana internet, dan mencegah terjadinya cyber bullying, cyber crime dan cyber victimization.
“Yang harus kita jalankan sekarang ialah safe democracy dan medsos tanpa bully,” tutup Yasonna.