JAKARTA - Hasil riset tipologi dan kasus pencucian uang di dunia menunjukan bahwa profesi tertentu termasuk Notaris dapat dimanfaatkan sebagai gatekeeper oleh pelaku pencucian uang untuk mengaburkan asal-usul dana yang sejatinya berasal dari tindak pidana. Profesi Notaris rentan dimanfaatkan untuk pencucian uang karena adanya ketentuan kerahasiaan yang diberikan berdasarkan UU seperti kerahasiaan hubungan antara notaris dengan klien sebagai alat dalam skema pencucian uang. Dalam periode 2011 s.d bulan Maret 2015, terdapat 62 LTKM yang berasal dari PJK Bank yang melaporkan 51 Notaris terindikasi transaksi keuangan mencurigakan.
‘’ Pencucian Uang memiliki dampak yang besar karena ruang lingkup dan dimensinya sangat luas, yakni mencakup kegiatan organized crime, white-collar crime, corporate crime dan transnational crime, bahkan seiring kemajuan TI menjadi salah satu bentuk dari cyber crime’’ ucap Dirjen AHU Cahyo Rahadian Muzhar di Lumire Hotel, Senen JakartaPusat. Selasa (11/18).
Cahyo mengungkapkan Gathering Reports & Information Processing System (GRIPS) adalah system yang dibangun oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menghindarkan dan pengawasan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang yang mungkin saja dapat dilakukan melalui transaksi dengan menggunakan notaris dengan menyembunyikan atau menyamarkan identitas atau asal usul harta kekayaan yg diperoleh secara ilegal sehingga harta kekayaan tersebut tampak berasal dari sumber yang sah.
Soal Pencucian Uang, Cahyo mengatakan Rusaknya reputasi bisnis, merongrong sektor swasta yang sah, menganggu likuiditas bisnis Meningkatkan instabilitas sistem kuangan, hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonom Meningkatkan kejahatan baik jenis maupun kualitas. Menciptakan/memperparah ketimpangan social Menimbulkan biaya sosial yang tinggi dan Perspektif Internasional antara lain Merusak reputasi dan kredibilitas negara di mata dunia internasional. Mengganggu transaksi bisnis internasional Kriminalisasi Pencucian Uang di Indonesia.
Ketentuan terkait Pencegahan dan pemberantasan TPPU dapat membantu penegak hukum dalam kebutuan penegak hukum untuk mendeteksi, melacak, menelusuri dan menganalisa transaksi keuangan serta menangani dugaan TPPU mulai dari penyidikan s/d persidangan serta pengembalian hasil tindak pidana (asset recovery).
‘’ Titik Kerawanan Notaris Disalahgunakan oleh Pelaku Pencucian Uang’’ tambah Cahyo.
Kata Cahyo Kegagalan melakukan CDD/KYC yang memadai (tidak hanya validasi identitas tetapi juga background check, termasuk terhadap PEPs perlu dilakukan EDD. Notaris yang lemah dalam melakukan CDD menjadi target pelaku pencucian uang.
‘’Gagal melakukan CDD terkait sumber dana dan BO dan background check ‘’ ucapnya.
Cahyo juga sebut Peran Ditjen AHU dalam mendukung Online Single Submission (OSS). OSS yang disebutnya sebagai Sistem yang mengintegrasikan seluruh pelayanan perizinan berusaha yang menjadi kewenangan Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur, atau Bupati/Walikota yang dilakukan secara elektronik.
Dirinya mengatakan Sebelum mengakses Sistem OSS, Badan Usaha terlebih dahulu mengurus pengesahan akta pendirian melalui AHU Online untuk mendapatkan SK Pengesahan Pendirian, Setelah proses pada AHU Online selesai dan keluar SK Pengesahan, service integrasi antara Ditjen AHU dan Ditjen Pajak dijalankan untuk pembuatan NPWP Perseroan , Setelah mendapat SK pengesahan yang disertai NPWP Perseroan , Pemohon dapat melakukan proses perizinan di OSS
‘’Peran Ditjen AHU dalam Mendukung OSS sudah terIntegrasi dengan Ditjen Pajak dalam penerbitan NPWP dan lembaga terkait lainnya’’ tutup Cahyo.
*sun